JAKARTA – Kewajaran nilai yang harus dikeluarkan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) untuk menambahkan kepemilikan saham PT Freeport Indonesia menjadi 51% bisa dilakukan tim penilai independen. Apalagi selain membeli 9,36% saham Freeport yang dikuasai PT Indocopper Investama, Inalum juga harus menebus 40% hak partisipasi Rio Tinto.

Reza Priyambada, Pengamat Pasar Modal Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI), mengatakan nilai US$3,85 miliar yang harus dibayarkan Inalum, termasuk untuk membayar ke Rio Tinto harus di cek dasar valuasi kepemilikannya.

“Artinya, berdasarkan apakah nilai tersebut? Nilai buku kah atau nilai pasar saat ini?” kata Reza kepada Dunia Energi, Selasa (24/7).

Berdasarkan dokumen yang diperoleh Dunia Energi, biaya divestasi saham Freeport Indonesia yang mencapai US$3,85 miliar tidak hanya untuk membayar hak partisipasi Rio Tinto dan membeli saham Indocopper Investama dari Freeport-McMoRan Inc.  Freeport pun juga turut menikmati pembelian 40% saham hasil konversi tersebut.

Dalam dokumen tersebut terungkap bahwa dana sebesar US$1 miliar diperuntukan untuk konversi hak partisipasi 40% Rio Tinto menjadi saham. Kemudian US$2,5 miliar dibayarkan Inalum untuk Rio Tinto dan Freeport-McMoRan diperuntukan untuk konversi yang telah dilakukan menjadi ekuitas. Besaran dana tersebut didapatkan berdasarkan perhitungan seluruh aset milik Freeport Indonesia sebesar US$6,25 miliar.

Lalu dana sebesar US$ 350 juta dibayarkan untuk membeli 100% saham Indocopper yang memiliki 9,36% Freeport Indonesia yang kini dikuasai Freeport-McMoRan dan setelah terdilusi menjadi 5,6%.

Dalam dokumen tersebut juga ditetapkan nantinya Inalum hanya akan memiliki 41% saham Freeport karena 10% nantinya akan menjadi milik Pemerintah Daerah Papua. Freeport-McMoRan akan memiliki 49% saham Freeport Indonesia.

Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Inalum, mengatakan proses divestasi yang dilakukan Inalum merupakan transaksi yang rumit dan melibatkan  banyak  pihak, karena itu harus hati-hati dalam prosesnya.

Inalum, lanjut dia, lebih memilih mencari pinjaman untuk melakukan transaksi tersebut dibanding menggunakan pendanaan internal holding BUMN tambang.

“Kalau misalnya bank meminta, Inalum kan sekarang mempunyai sekitar Rp20 triliun cash. Jadi sekitar satu koma sekian miliar dolar AS. Tapi kalau buat teman-teman yang memahami transaksi akuisisi, kalau makin sedikit equity, makin tinggi arm and arm-nya,” ungkap Budi, Senin malam (23/7).

Sambil membahas transaksi secara paralel, Freeport dan Inalum juga tengah membahas  manajemen yang akan bekerja setelah transaksi dan proses divestasi rampung secara keseluruhan.

“Sekarang sedang finalisasi, tapi kami ingin memastikan bahwa kami terepresentasi dengan baik. Kami juga ingin memastikan operasi jangan terganggu, karena kalau operasi terganggu nanti revenue-nya bisa turun. Ini tambang yang sangat kompleks, sehingga nanti pendapatan kami terganggu padahal kami masih bayar,” tandas Budi.(RA/RI)