JAKARTA – Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai 23 % energi baru dan terbarukan (EBT) pada bauran energi di tahun 2025. Di akhir tahun 2021, bauran energi dari EBT telah mencapai sekitar 11,7 %. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencapai target tersebut.
Upaya lainnya untuk mencapai bauran energi tersebut, yakni pembangunan 10,6 GW pembangkit listrik tenaga (PLT) EBT, termasuk penggantian PLTD menjadi PLT EBT, dan pemanfaatan biofuel hingga 11,6 juta kiloliter.

Pemerintah juga telah memiliki peta jalan menuju Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060. Pada peta jalan tersebut, tambahan pembangkit listrik setelah tahun 2030 hanya dari PLT EBT. Mulai 2035, pembangkit listrik akan didominasi oleh Variable Renewable Energy (VRE) dalam bentuk tenaga surya, diikuti tenaga angin dan arus laut pada tahun berikutnya. Hidrogen juga akan dimanfaatkan secara gradual mulai 2031 dan secara masif pada 2051. Tenaga nuklir akan masuk dalam sistem pembangkitan mulai tahun 2049.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan memang capaian energi terbarukan pada bauran energi nasional tahun 2021 sudah mencapai 11,7%. Capaian ini memperlihatkan ada progres walaupun relatif kecil dibandingkan target bauran energi nasional dimana kontribusi energi terbarukan mencapai 23% tahun 2025.
“Kami tentu menghargai berbagai upaya yang dialukan Kementerian ESDM untuk bisa mencapai target bauran energi nasional tahun 2025. Walaupun, kita sadar bahwa waktu yang tersisa sekitar tiga tahun lagi itu bukan hal yang mudah,” kata Surya, kepada Dunia Energi, Jumat (18/2/2022).

Ia mengungkapkan pengalaman selama 5-10 tahun terakhir, penambahan energi terbarukan dalam bauran energi nasional relatif sangat lamban. Bahkan sejak 2017, ketika terbitnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50 tahun 2017, banyak keluhan yang disampaikan oleh para investor karena proyek energi terbarukan yang tidak bankable, tidak memiliki daya tarik investasi, sulit mencari pendanaan yang harus murah karena harga energi terbarukan ditetapkan hanya boleh maksimum sebesar 85% dari biaya pokok produksi listrik PT PLN (Persero).

“Hal ini lah yang kami sampaikan untuk dilakukan evaluasi ulang dan supaya ada kepastian dari sisi hukum dan kepastian usaha, maka harga listrik energi terbarukan ditetapkan melalui Perpres (Peraturan Presiden) yang sekaligus merivis Permen ESDM 50 tahun 2017,” ujar Surya.

Selain itu, untuk memberikan kepastian regulasi dan usaha agar memiliki daya tarik investasi, maka pengusahaan energi terbarukan juga perlu diatur pada level Undang-Undang (UU) yang saat ini sedang dibahas di DPR sebagai Rancangan UU (RUU) inisitaif DPR. Kedua aspek ini perlu dipercepat agar ada kepastian terutama dalam upaya mencapai target Net Zero Emission (NZE) yang dicanangkan pemerintah yaitu tahun 2060 atau lebih awal.

“Kalau tidak ada payung hukum yang lebih kuat, maka target itu akan menjadi angka-angka target yang sulit dipenuhi,” kata Surya Darma.(RA)