JAKARTA – PT Adaro Energy Tbk (ADRO) membagikan dividen tahun buku 2019 sebesar US$250 juta. Jumlah dividen yang dibagikan meningkat jika dibanding dengan jumlah dividen tahun buku 2018 yang sebesar US$200 juta. Padahal, laba bersih Adaro 2019 turun menjadi US$404,19 juta dibanding raihan 2018 sebesar US$417,72 juta.

Garibaldi Thohir Presiden Direktur dan Chief Executive Officer Adaro, mengatakan realisasi kinerja keuangan 2019 dicapai karena pengendalian biaya berkelanjutan yang dilakukan  manajemen. Di tengah kondisi pasar yang sulit pada 2019, Adaro berhasil mencapai kinerja yang solid berkat keunggulan operasional dan pengendalian biaya yang berkelanjutan.

“Kami menjaga komitmen untuk membagikan dividen tunai kepada para pemegang saham, yang berjumlah US$250 juta untuk tahun 2019. Kami akan terus berfokus untuk meningkatkan keunggulan operasional, pengendalian biaya dan efisiensi karena kami perkirakan kondisi pasar batu bara akan tetap sulit pada 2020 yang diperburuk oleh pandemi global,” jelas Garibaldi dalam keterangannya, Kamis (21/5).

Lebih lanjut, pria yang akrab disapa Boy tersebut menuturkan bahwa Adaro sepanjang tahun lalu melakukan upaya terbaik untuk mengatasi tantangan jangka pendek ini dengan dukungan operasi, model bisnis dan posisi keuangan yang solid.

Para pemegang saham menyetujui dan mengesahkan Laporan Tahunan dan laporan keuangan konsolidasi perseroan untuk tahun 2019. Para pemegang saham juga membebaskan dan melepaskan secara penuh (acquit et décharge) seluruh anggota Direksi dan Dewan Komisaris perseroan dari segala tindakan kepengurusan dan pengawasan yang dijalankan selama tahun fiskal yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2019.

Pada agenda kedua, para pemegang saham menyetujui untuk menggunakan laba perseroan yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk untuk tahun fiscal 2019 sebesar US$404 juta untuk keperluan tertentu. Sebesar US$250 juta, atau 62% dari laba, akan digunakan untuk membayar dividen tunai, yang terdiri dari dividen tunai interim sebesar US$150 juta yang dibayarkan pada tanggal 15 Januari 2020 dan US$100 juta yang akan dibagikan dalam bentuk dividen tunai final. Sebesar US$150,5 juta akan dialokasikan sebagai laba ditahan. Sisanya sebesar US$3,5 juta akan disisihkan sebagai dana cadangan.

Adaro pada 2019 memproduksi batu bara sebesar 58,03 juta metrik ton (MT), naik 7% dibanding realisasi 2018. Raihan tersebut juga diatas target yang dipatok perusahaan di awal tahun lalu sebesar 54 juta MT – 56 juta MT. Sepanjang tahun lalu pengupasan lapisan penutup mencapai 272,09 million bank cubic meter (Mbcm), atau turun 1% y-o-y, sehingga nisbah kupas gabungan aktual tahun 2019 tercatat 4,69x.

Angka tersebut sedikit melebihi 4,56x yang ditetapkan sebagai panduan 2019. Adaro dapat memenuhi panduan operasional berkat dukungan operasi yang baik, tingginya output para kontraktor, dan kondisi cuaca yang kondusif di sepanjang tahun.

Menurut Garibaldi, permintaan yang solid untuk batu bara termal maupun metalurgi adalah faktor utama tercapainya penjualan sebesar 59,18 juta ton, atau setara dengan kenaikan 9% y-o-y. “Wilayah Asia Tenggara tetap merupakan tujuan penjualan utama dengan meliputi 42% dari penjualan Adaro tahun 2019,” kata dia.

Menurut Garibaldi, di tengah tantangan makro dan industri pada 2019, permintaan terhadap batu bara Adaro tetap tinggi karena para pelanggan terus mencari Envirocoal karena mereka mengakui dan menghargai kandungan polutannya yang rendah serta keandalan suplai Adaro.

Penjualan ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, meliputi 42% dari total volume penjualan tahun 2019. Volume penjualan ke Asia Tenggara naik 14% y-o-y dengan Indonesia dan Malaysia sebagai dua pasar terbesar Adaro di wilayah ini. Di sisi lain, Asia Timur meliputi 29% penjualan, diikuti India dan China masing-masing dengan porsi 15% dan 12%. Hal ini sejalan dengan kenaikan impor India pada tahun 2019.

Pada 2019, pasar global batu bara termal menghadapi tantangan makro maupun industri yang mendorong penurunan harga batu bara secara year-on-year (y-o-y). Selain itu, juga ada pelemahan ekonomi global, ketidakpastian kebijakan pemerintah, ketegangan perdagangan AS-China dan penurunan harga gas alam cair adalah beberapa faktor yang melemahkan pasar pada tahun ini. PMI manufaktur global akhir 2019 berdiri di level 50,1 (angka yang mencerminkan terbatasnya ekspansi) karena pasar mewaspadai ekonomi global yang lemah.

Menurut Garibaldi, walaupun harga mengalami tekanan, perdagangan global batu bara termal naik sampai melebihi 1 miliar ton. Permintaan terhadap batu bara sub-bituminus Indonesia dari negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia dan Filipina meningkat berkat tingginya permintaan listrik untuk memenuhi penambahan kapasitas PLTU baru. Dengan meningkatnya minat terhadap batu bara Indonesia ini mendukung produksi batu bara Indonesia mencatat rekor tertinggi 610 juta ton pada 2019. “Permintaan dari pasar domestik Indonesia juga melonjak 20% dengan sektor industri sebagai salah satu kontributor terbesar pertumbuhan tersebut,” ujar Garibaldi.(RI)