GLASGOW – Pola pembiayaan hijau (green finance) yang tepat mampu dimanfatkan sebagai jalan menuju peningkatkan pangsa energi baru dan terbarukan (EBT) yang signifikan, efisiensi energi, dan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan.

“Tanpa green finance yang memadai, kami tidak dapat mengubah rencana menjadi aksi nyata dalam mencapai ambisi Nationally Determined Contibution (NDC),” kata Arifin Tasrif Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jumat (5/11).

Arifin mengapresiasi langkah Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) sebagai mitra kerja sama dalam mendukung percepatan proyek infrastruktur rendah karbon di Indonesia maupun kawasan Asia Tenggara (ASEAN) melalui Mekanisme Transisi Energi atau Energy Trantition Mechanism (ETM).

“Kami menghargai ADB yang telah mengusulkan ETM untuk mempercepat pengurangan emisi di Indonesia serta negara anggota ASEAN lainnya. Kami sudah diskusikan, ETM ini cocok untuk mempercepat dekarbonisasi di Indonesia, khususnya untuk pensiun dini pembangkit batu bara,” kata Arifin.

Menteri ESDM juga menyoroti dukungan finansial dari ADB yang memberikan dampak positif bagi negara-negara Asia Tenggara di tengah tantangan pemulihan ekonomi berbasis lingkungan hijau (green recovery) pascapandemi COVID-19. “ASEAN sebagai episentrum ekonomi global pertumbuhan harus lebih berkontribusi dalam mewujudkan visi pascapandemi,” ujar Arifin.

Dalam laporan International Energy Agency (IEA) Sustainable Recovery, pandemi COVID-19 telah mengakibatkan investasi energi turun hampir 20% year-on-year pada 2020, atau setara dengan US$400 miliar. “Ini disebabkan oleh kekacauan permintaan dan pasokan energi di seluruh dunia daerah,” tukas Arifin.

Krisis akibat pandemi, sambung Arifin, diharapkan menjadi peluang emas untuk mengatur ulang komposisi energi demi mempercepat pangsa pasokan energi yang lebih hijau sesuai ASEAN Plan of Actions for Energy Cooperation (APAEC). Dokumen ini bertujuan untuk mempercepat transisi energi, memperkuat ketahanan energi dengan meningkatkan inovasi dan kerjasama serta meningkatkan target Energi Baru Terbarukan (EBT) dan intensitas energi.

“Sebagai satu-satunya anggota ASEAN di ekonomi G20, Indonesia secara konsisten menyampaikan pesan-pesan penting dari kawasan Asia Tenggara, seperti percepatan transisi energi untuk mendukung pemulihan ekonomi,” tegas Arifin.

Indonesia sendiri punya komitmen kuat dalam mengimplementasikan pemanfaatan EBT demi sebagai langkah nyata menghadapi perubahan iklim. “Kami sedang mempersiapkan Peta Jalan Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat. Peta jalan ini disusun secara hati-hati mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi dan pengembangan transisi energi dengan target waktu tertentu,” kata Arifin.

Bukti konkret ini ditujukan pemerintah dengan menyempurnakan regulasi atau aturan yang relevan, seperti penyempurnaan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menjadi lebih ramah lingkungan dengan pangsa 51,6% dari EBT, serta menyusun Peraturan Presiden tentang tarif EBT dan penetapan harga/perdagangan karbon.

Guna memperkuat implementasi proyek EBT dari sisi finansial, Arifin telah menyiapkan sejumlah instrumen pendanaan baik berupa pinjaman berbunga rendah, insentif fiskal maupun nonfiskal. “Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan lembaga terkait lainnya akan bekerja sama dengan ADB untuk mencari kemungkinan penerapan ETM,” ungkapnya.

ADB sendiri telah memberikan dukungan kepada pemerintah Indonesia mengurangi emisi karbon melalui PT Perusahaan Listrik Negara dengan melakukan penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dan Director General Southeast Asia Department ADB Ramesh Subramaniam Senin (1/11) waktu setempat.

Adapun lingkup kerja sama kedua belah pihak meliputi, studi kelayakan penuh yang mencakup aspek teknis dan finansial dari pengurangan pembangkit listrik tenaga batu bara. Kemudian, evaluasi struktur ETM, mencari program atau mekanisme lain yang sesuai dan merancang program bantuan teknis transisi yang adil.(RI)