JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Stockholm Environment Institute (SEI) melakukan kolaborasi studi mengenai analisis kapasitas institusi pemerintah pusat dan daerah untuk transisi batubara berkelanjutan di
Indonesia. Temuan awal dari studi ini menunjukkan bahwa dari delapan kapasitas ideal yang perlu dimiliki pemerintah untuk mendukung transisi energi, baik pemerintah nasional maupun pemerintah
daerah memiliki kekuatan kapasitas yang berbeda.

Pemerintah nasional dinilai telah mempunyai kesadaran untuk bertransisi energi, sementara pemerintah daerah memiliki kapasitas yang memadai untuk mengimplementasikan transisi energi. Namun, baik pemerintah nasional maupun daerah masih memerlukan peningkatan kapasitas di tujuh macam kapasitas lainnya.

Wira Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau IESR, menjelaskan transisi energi berkeadilan memerlukan kesiapan perencanaan dan implementasi yang matang. Untuk itu, kapasitas yang mumpuni dan saling melengkapi, serta kolaborasi yang erat antar pemerintah nasional dan pemerintah daerah menjadi hal yang krusial.
“Pemerintah nasional dapat memainkan perannya dalam menetapkan regulasi yang mendukung pelaksanaan transisi energi berkeadilan, menarik investasi dan pembiayaan transisi energi melalui berbagai kerjasama internasional. Sementara , pemerintah daerah dapat mengambil peran sebagai koordinator dan stimulator dalam proses transisi energi karena mereka yang mengetahui kondisi lapangan dan berinteraksi langsung dengan warga,” ujar Wira Swadana dalam Lokakarya Nasional tentang Transisi yang Berkeadilan: Membangun Kapasitas untuk Transisi Batubara yang Berkelanjutan di Indonesia, di Jakarta, Kamis(26/10).

IESR mengkaji delapan kapasitas pemerintah yaitu kesadaran, pengetahuan teknis, pelibatan pemangku kepentingan, komunikasi, jaringan multilevel (networking), finansial, penguasaan instrumental dalam penataan dan penguatan organisasi, dan pengimplementasian transisi energi.

Berdasarkan analisis awal IESR, pemerintah nasional memerlukan peningkatan kapasitas di bagian pengetahuan teknis, komunikasi dan membangun jaringan multilevel (networking). Sementara pemerintah daerah juga masih cenderung lemah dalam pengetahuan teknis tentang bertransisi energi, finansial, dan kewenangan yang termasuk dalam kapasitas instrumental.

Martha Jesica, Analis Bidang Sosial dan Ekonomi IESR, menyebutkan tiga hal utama yang menjadi kesenjangan peningkatan kapasitas pemerintah di tingkat nasional dan daerah. Pertama, mutasi tenaga kerja yang cepat sehingga membatasi pertukaran informasi. Kedua, minimnya kesadaran mengenai dampak batubara dan pembangunan ekonomi. Ketiga, proses birokrasi yang kompleks dalam komunikasi bertingkat atau multilevel antar pemerintah.
“Agar kesenjangan kapasitas pemerintah nasional dan daerah dapat diatasi, misalnya di kapasitas pengetahuan teknis, maka perlu adanya perubahan paradigma dari ekonomi yang berpusat pada batubara menjadi ekonomi hijau karena pengembangan ekonomi masa depan akan menuju pengembangan berkelanjutan dan adil. Selain itu, perlu pula melibatkan aktor di luar pemerintah
dalam perencanaan, seperti kelompok masyarakat sipil (nasional dan lokal) untuk bertukar pengetahuan mengenai transisi energi ini,” ujar Martha.

Stefan Bößner, Peneliti Stockholm Environment Institute, mengataka pemerintah dapat memperkuat kapasitasnya dalam pembuatan kebijakan dan peraturan yang mendukung inisiatif dan teknologi yang rendah karbon. Ia juga menyebut bahwa diversifikasi ekonomi menjadi solusi kunci untuk melakukan transisi energi berkeadilan.
“Pilihan diversifikasi ekonomi tersebut tersedia di Indonesia. Misalnya saja daerah penghasil batubara bisa mengembangkan wisata lingkungan, dan memanfaatkan penggunaan lokasi pertambangan untuk instalasi energi surya atau sebagai penyimpanan energi,” kata Stefan.(RA)