JAKARTA – Pemerintah didorong untuk sedikit merelakan pendapatannya guna menurunkan harga gas untuk industri. Apalagi nantinya pemerintah bisa menikmati pertumbuhan ekonomi sebagai imbas dari pertumbuhan industri yang ditopang  ongkos produksi yang efisien.

Ridwan Hisjam, Anggota Komisi VII DPR, mengungkapkan jika mementingkan ego sektoral maka penurunan harga gas tidak akan pernah bisa terwujud. Masing-masing sektor memiliki argumen tersendiri mengenai siapa yang harus lebih efisien.

Berdasarkan laporan yang diterima, Ridwan menyebut saat ini rata-rata harga gas dari hulu ‎sekitar US$8 hingga US$9 per MMBTU.  Jika harga gas di tingkat konsumen harus turun menjadi US$6 per MMBTU maka harus ada subsidi untuk menurunkanya.

Jika pemerintah mau berkorban mengurangi pendapatannya, industri harus dipastikan bisa menggenjot produksi dan meningkatkan daya saing. Kemudian pemerintah bisa menikmati hasil dari peningkatan produksi industri tersebut dari sisi perpajakan.

“Kalau sampai nanti harga itu membebani pemerintah (pengurangan penerimaan negara). Harapannya Industrinya harus bisa meningkatkan atau memacu produksinya jadi naik sehingga bisa menutup pendapatan negara yang berkurang dari sumber lainnya,” kata Ridwan di sela diskusi di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (18/2).

Menurut Ridwan, dengan adanya kemauan pemerintah maka harga gas secara tidak langsung bisa memberikan dampak terhadap neraca perdagangan Indonesia yang terus mengalami tekanan akibat tingginya impor. Jika industri memiliki daya saing maka ekspor juga bisa digenjot.

“Ini juga melihat agar Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tidak defisit. APBN tidak boleh defisit maksimal 3%. Industri gas menjadi mulplier effect bagi ekonomi nasional,” jelas Ridwan.

Ikut Keputusan Pemerintah

Suseno, Group Head Executive Office PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) mengungkapkan bahwa sampai saat ini masih dilakukan skenario penetapan harga gas agar bisa sesuai dengan Perpres 40 Tahun 2016. Posisi PGN sendiri hanya mengikuti apa yang diinstruksikan oleh pemerintah.

“Kami menyambungkan hulu ke pelanggan, tapi porsi kita ya melaksanakan kebijakan pemerintah. Semua pasokan volume berbagai macam dan mekanisme komersial,” kata Suseno.

Menurut dia, perhitungan dari pemerintah pasti telah memperhatikan berbagai pertimbangan termasuk kewajaran margin keuntungan. Di sisi lain tetap harus juga diingat bahwa PGN sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah dituntut untuk mengembangkan dan menghubungkan infrastruktur gas.

“Margin nya pastinya nantinya ditentukan yang wajar. Kami melakukan upaya, PR nya, bagaimana industri yang belum tersambung namun banyak permintaan, nah biaya penyaluran dan infrastruktur ini yang diterima pelanggan masih diatur,” jelas Suseno.

Jugi Prajugio, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas), mengungkapkan dari sisi BPH pengawasan serta efisiensi biaya di midstream sebagai salah satu komponen harga gas sudah dilakukan dengan sangat ketat.

“Kalau penetapan biaya distribusi pipa sama margin yang benar yang tetap sesuai dengan kaidah di BPH Migas ada proses verifikasi Capital Expenditure (capex), Operational Expenditure (opex) dari Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP),” kata Jugi.(RI)