JATIBARANG desa kecil di utara Jawa Bagian Barat. Biar kecil tapi cabe rawit. Itu kiranya pantas disematkan bagi Jatibarang karena wilayah yang terletak 19 kilometer (km) dari Kabupaten Indramayu ini merupakan usat perekonomian dan pintu gerbang utama dari arah Cirebon, Bandung dan wilayah-wilayah lain di bagian timur Pulau Jawa.

Jatibarang dipastikan akan jadi wilayah tersohor dan jadi sorotan. Nama Jatibarang akan tercatat dalam sejarah industri hulu migas, bukan hanya di Indonesia tapi juga dunia setelah beberapa waktu lalu PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina Hulu Energi (PHE) Subholding Upstream Pertamina melakukan injeksi CO2 ke salah satu reservoir di lapangan Jatibarang. Ini merupakan kali pertama dalam sejarah industri migas tanah air dilakukan injeksi CO2.

Injeksi CO2 yang merupakan salah satu emisi yang dihasilkan oleh industri hulu migas ini merupakan bagian dari program jangka panjang Pertamina untuk tetap memproduksikan migas dengan tetap memperhatikan lingkungan. Sekali dayung dua tiga pulau terlewati. Selain berdampak positif terhadap lingkungan injeksi CO2 juga bisa jadi salah satu metode Enhanced Oil Recovery (EOR) sebuah metode pengurasan minyak lebih lanjut yang bermanfaat untuk meningkatkan produksi minyak.

Tutuka Ariadji, Dirjen Migas Kementerian ESDM mengungkapkan injeksi CO2 bagian dari implementasi Carbon Capture Utilization Storage (CCUS) ini pertama kali dilakukan di lapangan migas di Indonesia.

“Teknologi CCUS menjadi enabler yang mampu meningkatkan produksi migas melalui CO2-EOR sekaligus mengurangi emisi GRK secara signifikan,” ujar Tutuka saat melihat langsung proses injeksi CO2 ke dalam reservoir di lapangan Jatibarang Pertamina EP pada akhir Oktober lalu.

Pertamina memang terlihat paling “ngotot” untuk mengimplementasikan CCUS ataupun CO2-EOR. Maklum saja sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan migas plat merah itu memiliki tugas utama memenuhi kebutuhan energi, khususnya migas. Di sisi lain, sekarang ini masyarakat dunia sangat memperhatikan emisi yang ditimbulkan dari berbagai aktifitas. Sementara kegiatan operasi produksi migas harus diakui jadi salah satu produsen emisi terbesar. Agar kegiatan operasi produksi tetap berjalan sekaligus lingkungan juga tidak ditinggalkan maka CCUS menjadi keniscayaan bagi Pertamina yang tidak dapat ditawar.

Sumber : Pertamina

Oki Muraza, Senior Vice President (SVP) Research Technology and Innovation Pertamina, pernah membeberkan tahapan pelaksanaan injeksi CCUS maupun injeksi CO2 yang dilakukan Pertamina kepada Dunia Energi.

Dia menjelaskan keseriusan Pertamina untuk mengimpelementasikan CCUS adalah dengan memetakan mencari source atau sumber CO2 yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Ini kelebihan Pertamina. Selain wilayah migas tersebar, manajemen juga memetakan potensi CO2 yang berasal dari industri non migas.

Langkah berikutnya adalah mendeteksi depleted reservoir yang sudah ada fasilitasnya. Depleted reservoir ini maksudnya adalah reservoir yang kosong alias sudah diproduksikan cadangan gasnya.

“Kami buat petanya. Indonesia dimana aja ada CO2 , mulai dari upstream operation, kilang, coal power plant. yang punya depleted reservoir kan Pertamina. Paling memungkinkan mudah depleted reservoir dulu ada isinya sekarang kosong,” ungkap Oki saat bertemu Dunia Energi disela diskusi dalam even paralel G20 di Nusa Dua, Bali beberapa waktu lalu.

Ketika sudah diketahui lokasi CO2, kemudian reservoir yang cocok untuk diinjeksikan. Menurut Oki Ada dua isu utama untuk melakukan injeksi CO2 ke dalam reservoir. Pertama adalah injectivity, artinya apakah CO2 bisa dimasukkan ke dalam reservoir. Ini tentu berhubungan juga dengan karakteristik reservoirnya. Kemudian well integrity sumur. Berkaitan dengan kondisi infrastruktur sumur tersebut. “Masih bagus nggak jalau nggak nanti keluar capital lagi,” ungkap Oki.

CO2 – EOR jadi yang paling realistis sekarang ini untuk dijalankan oleh Pertamina, sebab jika hanya menyimpan CO2 masih dibutuhkan regulasi lebih lanjut dari pemerintah.

Manajemen Pertamina memang tidak akan sendiri untuk mengimpelemtasikan CCUS serta injeksi CO2. Untuk injeksi CO2 di lapangan Jatibarang sendiri merupakan realisasi kerja sama antara Pertamina (Persero), Pertamina EP, dan Japan Oil, Gas and Metals National Corporation (JOGMEC) terkait ‘JOGMEC on CO2 Injection for Enhanced Oil Recovery (CCUS-EOR) Project in Jatibarang Field. “Kita melihat sejarah baru bagaimana CO2 diinjeksi untuk meningkatkan produksi sekaligus mengurangi emisi,” ujar Oki.

Sumber : Pertamina
Diolah : Dunia Energi

Penerapan teknologi CCUS merupakan komitmen Pertamina mendukung program Pemerintah untuk mempercepat transisi energi dan mencapai target penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030 dan Net Zero Emission pada tahun 2060.

“Implementasi injeksi CO2 akan menjadi tulang punggung Pertamina dalam meningkatkan produksi migas dan sustainability,” ungkap Oki.

Potensi dekarbonisasi tersebar di berbagai lokasi, di antaranya yang saat ini sedang dilakukan studi adalah Jatibarang, Sukowati, Gundih, Ramba, Subang, Akasia Bagus dan Betung. Secara total, potensi dekarbonisasi di seluruh area Pertamina Hulu Energi (PHE), sebagai Subholding Upstream Pertamina, di kisaran 15 juta ton carbon equivalen.

Apabila CCS dan CCUS diterapkan kata Oki, akan ada industri baru yang bisa langsung lahir dan bisa memberikan manfaat. “Ini adalah bonus yang kami punya. Ketika kami punya CCUS maka kami akan punya proyek  low carbon ammonia ,” katanya.

Muharram Jaya Panguriseng, Direktur Eksplorasi Pertamina Hulu Energi, mengatakan injeksi C02 di Lapangan Jatibarang merupakan langkah awal implementasi CCS/CCUS kerja sama Pertamina dengan JOGMEC setelah melakukan studi bersama.

“Lapangan Jatibarang salah satu lapangan raksasa di Indonesia dengan total produksi telah mencapai 101.8 MMMbls, dan masih memiliki potensi cukup besar. Semoga dapat diproduksikan melalui CO2-EOR,” ujar Muharram.

Sementara itu, Hadi Ismoyo, praktisi migas sekaligus mantan Sekretaris Jendral Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), menjelaskan langkah Pertamina melakukan injeksi CO2 di lapangan Jatibarang merupakan salah satu langkah tepat sekaligus strategis yang layak untuk didukung sebagai bagian dari pilar ke empat peningkatan produksi migas nasional melalui EOR.

Dia pun optimistis dengan menginjeksikan CO2 maka peluang peningkatan produksi minyak lapangan Jatibarang semakin terbuka lebar. “Bisa meningkatkan tambahan produksi minyak 5% sampai 10% recovery factor terhadap cadangan di tempat. Dengan metode CO2 Flooding. Bahkan di negera negara seperti Norwegia peningkatan recovery factor bisa sampai 20% sampai 25% tergantung dari term and condition lapangannya,” jelas Hadi.

Meskipun masih skalanya tidak terlalu besar tapi inisiatif yang dilakukan Pertamina di Jatibarang patut diapresiasi karena nantinya hasil dari project tersebut akan sangat bermanfaat untuk project sejenis dengan peluang keberhasilkan yang semakin besar. Hasil evaluasi dari Jatibarang kata Hadi  bisa diaplikasikan di wilayah kerja Pertamina lain yang masih mempunyai potensi Original Oil in Place (OOIP) besar dan dekat dengan sumber CO2. “Misalkan lapangan Mudi dan Sukowati di Jatim yang dekat dengan sumber CO2 di Jambaran Tiung Biru,” ungkap Hadi.

Pertamina kata dia tetap harus terus memperbaiki kinerja pilot project di Jatibarang, agar menjadi Standard Operating Procedure (SOP) yang terbaik dilakukan juga di banyak tempat agar bisa membuat matrik pada kondisi lapangan shallow atau deeper, misible atau non misilble, carbonate atau sandstone. Dengan varian tersebut kelak Pertamina punya SOP CO2 Flooding yang hebat dan bisa diaplikasikan di manapun di blok migas yang dimilikinya.

Namun demikian Pertamina tidak bisa berjalan sendiri. Pemrintah menurut Hadi harus secara aktif menyiapkan insentif cocok untuk badan usaha yang mau menjalankan carbon capture ataupun injeksi CO2. “Insentif yang memadai dari sisi Pemerintah jika satu dan lain hal , penerapan EOR belum mencapai IRR yang didinginkan para pihak,” tegas Hadi.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan Pertamina jadi salah satu pionier Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang menginjeksikan CO2. Hal ini tentu positif karena tujuannya memang untuk menguras sisa minyak yang berada di lapisan lebih dalam. “Salah satu opsi untuk angkat minyak di lapisan paling dalam yang pakai teknologi biasa belum bisa diangkat maksmial,” ungkap Komaidi.

Selain untuk meningkatkan produksi minyak, jika memang sudah berjalan dan regulasinya juga sudah pasti, maka Pertamina bisa memanfaatkan penerapan injeksi CO2 ini dalam perdagangan karbon. Ini tentu jadi bisnis yang cukup menjanjikan di masa depan. “Saya kira relevan ada penangpakan CO2 dan penyimpanan sekalian. Mungkin itu bisa diperjualbelikan kalau regulasinya sudah mapan,” kata dia.

Pertamina juga menunjukkan mulai beradaptasi dengan tren perusahaan energi dunia lainnya yang bergeser menjalankan operasionalnya dengan cara-cara atau metode green. Apa yang dilakukan Pertamina kata Komaidi juga membantu pemerintah yang kini sedang gencar-gencarnya mengejar target NZE pada tahun 2060.

“Ini EOR model adalah untuk meningkatkan produksi. Di sisi yang lain kebetulan inline dengan target pemerintah capai target mencapai NZE tahun 2060. Di migas proses produksinya yang dibuat green tapi produknya tetap nggak bisa diubah tetap produk fosil tapi proses produksinya yang akan dibuat se-green mungkin,” jelas Komaidi.

Berdasarkan studi yang telah dilakukan Lemigas Kementerian ESDM dan studi lainnya, Indonesia memiliki potensi storage sekitar 2 Giga Ton CO2 pada depleted reservoir migas yang tersebar pada beberapa area dan sekitar 10 Giga Ton CO2 pada saline aquifer di West Java dan South Sumatera Basin. Hasil kajian lain yang dilakukan oleh ExxonMobil memperkirakan potensi storage jauh lebih besar yaitu sekitar 80 Giga Ton CO2 pada saline aquifer, sementara dari hasil kajian Rystad Energy memperkirakan lebih dari 400 Giga Ton CO2 pada reservoir migas dan saline aquifer Indonesia.

Inisiatif untuk mengimplementasikan CCUS salah satunya dengan injeksi CO2 bukan langkah yang mudah. Sarat akan risiko, baik dari sisi teknis apalagi dari sisi biaya selalu membayangi manajemen manapun yang menempuh jalan terjal tersebut. Tapi sekali lagi harus dilihat bahwa inisiatif ini dilakukan oleh Pertamina. Perusahaan migas plat merah yang memiliki kewajiban untuk memastikan ketersediaan energi berupa minyak maupun gas bumi. Selain itu inisiatif injeksi CO2 juga berkaitan sangat erat dengan lingkungan karena dengan memasukkan kembali CO2 ke dalam reservoir berarti ada emisi dalam jumlah besar yang bisa ditekan.

Melalui injeksi CO2, lingkungan terjaga produksi minyak Pertamina meningkat. Sekali mendayung dua tiga pulau terlewati!

 

Sumber : Pertamina