JAKARTA – Tahun 2020-2021 diyakini merupakan waktu yang krusial untuk memulai proses transisi energi Indonesia. Pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19 seharusnya dapat diselaraskan dengan pembangunan rendah karbon.

Namun, berdasarkan data yang dihimpun oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2021, pemerintah Indonesia masih belum beranjak dari pengembangan energi fosil.

“Hal ini terlihat dari upaya penyelamatan ekonomi Indonesia dari dampak krisis Covid-19. Pemerintah mengalokasikan dana sebesar US$ 6,76 miliar untuk bidang energi, namun hanya 3,5% untuk energi bersih,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam diskusi virtual Senin (25/1).

Pemerintah juga tetap merencanakan untuk melanjutkan pengembangan industri hilir batu bara dengan sembilan usulan insentif yang dibahas di tiga kementerian yang berbeda. Padahal, inisiatif tersebut berpotensi menjadi beban anggaran pemerintah seiring dengan risiko proyek hilirisasi batu bara yang tinggi dan semakin terbatasnya investasi sektor batu bara.

Fabby mengatakan, pandemi Covid-19 menyebabkan Indonesia mengalami penurunan permintaan konsumsi listrik
yang signifikan dan, juga kelebihan pasokan listrik dalam negeri. Pertumbuhan permintaan untuk beberapa tahun ke depan diperkirakan lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan dalam lima tahun terakhir, berkisar antara 4%–4,5% per tahun.

Strategi untuk mendorong transisi energi perlu mempertimbangkan pertumbuhan permintaan listrik yang lebih rendah tersebut sehingga pembangunan energi terbarukan merupakan prioritas serta mempensiunkan pembangkit listrik tenaga fosil, khususnya batu bara, perlu segera dipertimbangkan.

“Faktor kuat lainnya untuk melakukan transisi energi berasal dari hasil pemodelan IESR terhadap RUPTL 2019-2028 yang menunjukkan bahwa emisi
gas rumah kaca (GRK) PLTU batu bara dapat mencapai lebih dari 300 juta ton CO2 sebelum tahun 2028. Bahkan di tahun 2022, Indonesia diproyeksikan akan melampaui jalur emisi GRK 2°C,” ungkap Fabby.

Dia menambahkan, sejak 2016 Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Paris, melalui UU No 16/2016 dan pemerintah sudah menyerahkan Nationally Determined Contribution (NDC) ke UNFCCC sebagai tindak lanjut komitmen tersebut. Oleh karena itu, negara terikat secara hukum untuk memenuhi target perubahan iklim global dan harus memprioritaskan upaya untuk mengurangi emisi GRK secara signifikan.

“Pemerintah sepatutnya menggunakan momentum ini dengan membuat kebijakan agresif untuk memenuhi komitmen Kesepakatan Paris agar suhu bumi terjaga di bawah 1,5 derajat celcius,” tandas Fabby.(RA)