JAKARTA – Komitmen dan keseriusan pemerintah kembali dipertanyakan untuk urusan harga gas yang terjangkau bagi industri pasalnya hingga kini belum semua industri bisa menikmati harga gas khusus tersebut.

Achmad Widhjaja, Wakil Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), mengungkapkan sejak regulasi yang mengatur harga gas khusus bagi industri diterbitkan tidak sedikit pelaku usaha ternyata belum menikmati harga tersebut.

Menurut Achmad ada beberapa faktor yang sebabkan pemerintah tidak kunjung terapkan harga gas khusus secara optimal. Paling terasa adalah berbelitnya proses untuk bisa dapatkan harga gas. Saat semua syarat sudah dipenuhi para pelaku usaha masih belum bisa mendapatkan kepastian.

“Kepmen itu belum menyeluruh, berbalik ke proses birokrasi yang sangat amat menjenuhkan dan melelahkan sehingga industri akhrinya tidak ada komitmen terhadap implementasi gas,” kata Achmad di Jakarta, Senin (1/8).

Industri kata Achmad siap duduk bersama pemerintah dan stakeholder lainnya guna menyelesaikan masalah ini. Bahkan industri kata dia rela membeli gas dengan harga diatas US$ 6 per MMBTU dengan catatan tidak lagi dipersulit masalah birokrasi.

Menurut dia pemerintah harus segera jadikan keputusan harga gas ini sebagai salah satu keputusan politik serta menjamin kepastian akan bertahan lama.

“Tolong pemerintah ambil keputusan kalau ke depan sudah tidak bisa berikan janji, garis bawahi aja kepada para pengguna gas oke jadin sepakat US$7 per MMBTU tapi itu jadi sebuah kepastian keputusan politik supaya industri ke depan lebih jelas kita rencanakan,” jelas Achmad.

Ketidakjelasan komitmen pemerintah untuk harga gas membuat pelaku usaha kembali menggunakan bahan bakar fosil minyak. Padahal di sisi lain pemerintah mendorong penggunaan gas sebagai bagian dari transisi energi. jika terus dibiarkan maka industri akan menelan kerugian. Karena jika tidak menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan produk hasil olahan industri tanah air akan mendapatkan predikat buruk. Bahkan bukan tidak mungkin tidak lagi diijinkan masuk ke negara-negara tujuan ekspor yang sudah mewajibkan penggunaan bahan baku produksi ramah lingkungan.

Achmad menegaskan industri siap mendukung program pemerintah untuk melakukan transisi energi memanfaatkan gas tapi di sisi lain harga gas yang dijanjikan tidak kunjung diperoleh selain itu untuk bisa mendapatkannya harus melalui alur birokrasi yang rumit menyulitkan pelaku usaha yang saat ini butuh kecepatan dalam beroperasi.

Selain dari sisi harga, pelaku usaha juga meminta PLN untuk bisa segera konversi menggunakan pembangkit listrik bertenaga gas (PLTG). Karena penggunaan PLTU atau BBM untuk pembangkit yang listriknya dialirkan ke industri juga berpengaruh produk industri. Tentu produk yang dihasilkan dari kegiatan operasi dengan listrik dari PLTU atau BBM akan dilabeli produk tidak ramah lingkungan.

“Kalau kita melihat kondisi industri olahan, kita dituntut Kemenperin untuk bisa memberikan kontribusi manufaktur indeks terbaik. indeks itu ditentukan pemerintah dan kita diminta untuk seluruh industri olahan go green (gunakan gas), tapi harga gas nggak turun-turun. Atau PLN-nya masih saja gunakan bahan bakar fosil minyak solar atau PLTU,” ujar Achmad.