JAKARTA – Perubahan iklim merupakan tantangan global terbesar saat ini. Laporan Kajian Ke-5 (Assessment Reports 5 atau AR5) Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa suhu bumi telah meningkat sekitar 0,8 derajat Celcius selama abad terakhir. Pada akhir 2100, suhu global diperkirakan akan lebih tinggi 1,8 – 4 derajat Celcius dibandingkan rata-rata suhu pada 1980-1999. Kenaikan suhu ini setara dengan 2,5 – 4,7 derajat Celcius jika dibanding periode pra-industri atau tahun 1750.

Alue Dohong, Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), mengatakan laporan IPCC juga menegaskan bahwa terjadinya perubahan iklim, yang berupa meningkatnya emisi gas rumah kaca diakibatkan aktivitas manusia.

“Peningkatan emisi gas rumah kaca dalam 50 tahun terakhir menunjukkan yang tertinggi dalam sejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya sejak 800 ribu tahun yang lalu,” kata Alue, Kamis (12/11).

Alue Dohong menerangkan, permasalahan dan dampak perubahan iklim telah mendorong Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992 yang menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC bertujuan menstabilisasi konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim sehingga ekosistem dapat memberikan jaminan pada produksi pangan dan keberlanjutan pada pembangunan ekonomi.

Mempertimbangkan perlunya kerja sama global dalam menangani dampak perubahan iklim, oemerintah Indonesia turut serta meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNFCCC. Dengan menjadi begara Pihak UNFCCC, Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan UNFCCC dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut.

Indonesia turut pula menjadi Negara Pihak pada beberapa perjanjian turunan dari UNFCCC, yaitu Kyoto Protocol, yang diratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the UNFCCC. Kemudian Doha Amendment, diterima (accepted) melalui instrument Piagam Penerimaan Doha Amendment to the Kyoto Protocol 6 Agustus 2014. Dan yang terbaru adalah Paris Agreement, yang diratifikasi melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the UNFCCC pada 24 Oktober 2016, sebagai rezim baru pengendalian perubahan iklim pasca 2020.

Guna mensinergikan kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengendalian perubahan iklim di Indonesia, Kementerian LHK melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) menyelenggarakan sosialisasi hasil-hasil perundingan perubahan iklim dan implementasinya di tingkat nasional.

Ruandha A Sugardiman, Direktur Jenderal PPI Kementerian LHK, menjelaskan bahwa sosialisasi ini bertujuan agar para pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah mendapatkan informasi akurat mengenai hasil-hasil pencapaian perundingan perubahan iklim, dan beberapa catatan tindak lanjut di tingkat nasional.

“Diharapkan juga memiliki persamaan persepsi terhadap dan implementasinya di tingkat nasional, serta dapat memberikan input konstruktif untuk implementasi pengendalian perubahan iklim di daerah,” tandas Ruandha.(RA)