JAKARTA – Pemerintah menyatakan tidak ada pelanggaran aturan dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Salah satu pasal yang mengundang pro kontra dalam aturan terbaru ini adalah pasal 111. Dalam pasal tersebut dikatakan, dalam rangka menjamin efektivitas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara serta menjamin iklim usaha yang kondusif, Menteri dapat menetapkan ketentuan lain bagi pemegang IUPK operasi produksi sebagai kalanjutan operasi Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pertambangan Batu bara (PKP2B) dengan mempertimbangkan skala investasi, karakteristik operasi, jumlah produksi dan/atau daya dukung lingkungan.

Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi Layanan Infomrasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, mengatakan beleid tersebut diterbitkan guna menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, meningkatkan efektivitas, dan efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan, penyederhanaan birokrasi dan perizinan, serta mendorong pengembangan pengusahaan pertambangan mineral dan batu bara.

“Pasal ini bukan merupakan pengaturan yang baru, melainkan telah diatur sebelumnya dalam Permen ESDM No. 50 Tahun 2018 (Pasal 43A) dan Permen ESDM No. 51 Tahun 2018 (Pasal 110A). Intinya pasal ini memberikan simplifikasi birokrasi dan perizinan, serta memberikan kepastian hukum atas prosedur pengajuan perpanjangan KK/PKP2B menjadi IUPK”, kata Agung di Jakarta, Jumat (3/4).

Menurut Agung, frasa kata ketentuan lain dalam pasal tersebut bukan untuk memberikan hak-hak khusus yang menyimpangi ketentuan peraturan perundang-undangan, melainkan sebagai instrumen pengendali agar pelaku usaha pertambangan dapat melaksanakan kewajibannya secara proporsional dalam rangka mengoptimalkan potensi sumber daya mineral dan batu bara, peningkatan penerimaan negara dan pemenuhan kewajiban lingkungan hidup. Ketentuan pasal 111 juga diperlukan untuk mengatasi permasalahan hukum yang mungkin timbul akibat perubahan dari rezim kontrak menjadi izin.

Agung menegaskan ketentuan yang ada di pasal 111 ini bukan merupakan dasar hukum pemberian perpanjangan PKP2B dalam bentuk IUPK, melainkan ketentuan yang bersifat teknis dalam kaitannya dengan penetapan SK IUPK. “Tentunya dalam pemberian perpanjangan menjadi IUPK, pemerintah mendasarkan diri pada peraturan perundangan yang berlaku, pemenuhan syarat-syarat, serta hasil evaluasi terhadap kinerja perusahaan (tidak bersifat otomatis),” kata Agung.

Ia mengatakan perpanjangan PKP2B tidak hanya berdasarkan aturan yang ada di Permen 7 tahun 2020 tapi justru didasari ketentuan UU Nomor 4 Tahun 2009, PP 23 Tahun 2010 beserta perubahannya.

Agung mengatakan keputusan pemberian perpanjangan serta perubahan PKP2B menjadi IUPK tidak bisa diberikan begitu saja karena masih harus perubahan aturan yang sedang dibahas bersama antara pemerintah dan DPR.

“Berkaitan dengan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK, saat ini sedang disiapkan sejumlah peraturan perundang-undangan dalam bentuk RUU dan RPP, yaitu RPP Perubahan Keenam PP 23/2010, RUU Minerba, dan RUU Cipta Kerja,” ungkap Agung.

Permen ini mengatur tentang pengajuan perubahan RKAB Tahunan, pengaturan sistem pelaporan online pada kegiatan pengangkutan dan penjualan minerba, penghapusan perizinan dalam bentuk persetujuan perubahan direksi/komisaris, perubahan jangka waktu pengajuan permohonan peningkatan tahap IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi, serta pengaturan tentang mekanisme pengalihan IUP PMDN menjadi IUP PMA.(RI)