JAKARTA – PT Adaro Energy Tbk (ADRO), emiten energi terintegrasi,  mengincar pasar baru batu bara di wilayah Asia Tenggara. Vietnam menjadi salah satu negara yang dijajaki sebagai salah satu tujuan ekspor batu bara Adaro.

Rencana tersebut tidak lepas dari tidak berjalannya rencana memasok batu bara untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Thailand.

Christian Ariano Rachmat, Wakil Presiden Direktur Adaro, mengatakan Adaro sudah semakin dekat untuk melakukan penandatanganan jual beli batu bara dengan perusahaan yang sedang membangun PLTU di VIetnam. Adaro akan mendapatkan kontrak jangka panjang dalam transaksi tersebut.

“Volume sekitar tiga juta ton per tahun, mulai empat tahun dari sekarang. Baru mau dibangun pembangkit listriknya, tapi untuk pasok sudah hampir tanda tangan. Actual suplai masih beberapa tahun lagi, karena dia mesti bangun, tapi kontrak jangka panjang,” kata Ariano di Jakarta, Selasa (30/4).

Ariano mengatakan Vietnam sebenarnya bukan tujuan ekspor baru, hanya saja jumlahnya selama ini tidak besar dan batu bara Adaro hanya diperuntukan untuk beberapa industri. Jika memasok untuk kebutuhan pembangkit listrik volumenya dipastikan akan besar karena kapasitas pembangkit rencananya yang akan dibangun juga berkapasitas raksasa.

“Vietnam kami sudah ada suplai memang, tapi nanti ada pasar baru. Pembangkitnya itu bisa 1.000 megawatt (MW) – 1.200 MW informasinya, itu yang bangun beberapa konsorsium beberapa perusahaan Jepang yang bangun,” katanya.

Vietnam menjadi salah satu sasaran ekspansi bisnis Adaro lantaran batalnya Adaro memasok batu bara di Thailand.

Menurut Ariano, perkembangan sektor ketenagalistrikan mengalami perubahan cukup signifikan yang tadinya berkonsep sentralisasi dengan pembangkit besar, seperti PLTU menjadi desentralisasi dengan menggunakan pembangkit energi baru terbarukan seperti solar panel.

Growth-nya agak slow down. Juga banyak rumah di Thailand kan ada solar panel. Jadi growth pembangkit yang sentralisasi itu berkurang, karena pindah ke desentralisasi,” ungkap Ariano.

Adaro sebelumnya sempat menyepakati kerja sama dengan badan usaha milik negara (BUMN) Thailand, Electricity Generating Authority of Thailand (EGAT) untuk memasok kebutuhan pembangkit listrik berkapasitas 800 MW.

Selain karena berpindahnya konsep penyediaan energi di Thailand, isu lingkungan juga sempat mengemuka di sana. Pembangunan pembangkit di distrik Nua Khlong yang merupakan daerah wisata mengalami tarik ulur karena penolakan dari otoritas pemerhati lingkungan setempat. Dampaknya, rencana konstruksi yang awalnya ditargetkan pada 2021 molor menjadi 2024.

Ariano mengatakan Asia Tenggara di sekitar Thailand juga masih jadi pasar potensial batu bara untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik. “Kami lihat di luar Thailand. Mereka itu transmisinya connect, dari Laos sampai Malaysia,” ujarnya.

Garibaldi Thohir, Presiden Direktur dan CEO Adaro, mengatakan negara manapun tidak akan mengandalkan sumber energinya dari satu sumber. Batu bara tetap akan menjadi sumber energi, terutama di wilayah ASEAN yang masih membutuhkan sumber energi murah dan efisien.

Potensi pasar lainnya tidak hanya di Vietnam,  tapi PLTU juga saat ini masih dibangun Kamboja, Malaysia Filipina, bahkan Bangladesh.

“Jadi secara overall, demand itu masih cukup. Strong sih tidak, tapi demand ada,” kata Garibaldi.(RI)