JAKARTA – Mekanisme penetapan tarif listrik pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) dianggap masih tidak sesuai dengan semangat percepatan pemanfaatan EBT untuk kelistrikan nasional. Padahal Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar dan bervariasi sehingga sangat bisa untuk dikembangkan.

Nobuaki Aoyama, Executive Committee Chairman of Japan-Indonesia Business Forum Industri for Energy Efficiency Conservation and Renewable Energy, mengungkapkan, nilai keekonomian proyek EBT kerap kali tidak terpenuhi ketika dilakukan kajian. Salah satunya karena penerapan tarif EBT.

“Harga beli di Jepang dengan feed in tariff. Cara itu membuat investor akan tertarik. Pengusaha Jepang yang mau masuk banyak, tapi melihat regulasi jadi berat. Perlu ada upaya lebih longgar karena dari investor banyak tapi ketika mulai hitungan-hitungan tidak masuk,” kata Aoyama disela pelaksanaan Japan-Indonesia Business Forum for Energy Effiency, Conservation and Renewble Energy di Jakarta, Rabu (14/11).

Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017, tarif listrik EBT ditetapkan berdasarkan biaya pokok produksi (BPP) daerah. Untuk pembangkit solar, angin, biomassa, biogas, dan arus laut harga listriknya maksimal 85% dari BPP daerah. Sementara untuk panas bumi, tenaga sampah serta air harga listrik maksimal 100% dari BPP daerah.

Harris, Direktur Aneka Energi baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, mengakui pemerintah tidak menutup telinga terhadap masukan yang menyuarakan revisi terhadap Permen 50 Tahun 2017. Pemerintah masih menunggu berbagai masukan yang ditujukan untuk perbaikan terhadap aturan main sektor EBT.

“Sekarang kami melihat masukan stakeholder, kalau disimpulkan ada yang harus diperbaiki ya kami perbaiki,” ungkap Harris.

Menurut dia, meskipun banyak yang menyatakan regulasi EBT kurang menarik, tapi pada kenyataannya masih banyak pelaku usaha dari internasional, termasuk Jepang membidik investasi di Indonesia. Ini disebabkan oleh kelonggaran yang masih bisa dirasakan para pelaku usaha jika berinvestasi di Indonesia.

Salah satu ruang yang ditawarkan di sektor EBT adalah masih adanya ruang margin bagi para pelaku usaha. Ini yang sudah cukup jarang didapatkan di berbagai negara yang sedang mengembangkan EBT-nya.

“Indonesia masih memberikan ruang, di India misalnya, kompetisi sangat ketat. Untuk PLTS saja harganya US$ 3 sen per kWh,” tandas Harris.(RI)