JAKARTA – Kebijakan energi di Indonesia dianggap belum memberikan rasa aman bagi pengembang untuk berinvestasi di energi terbarukan. Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 10 Tahun 2017 menyerahkan risiko sepenuhnya kepada pengembang bila terjadi perubahan kebijakan pemerintah. Peraturan ESDM No. 50/2017 menyebabkan proyek energi terbarukan dipandang sebagai proyek yang sulit mendapat pendanaan dari bank (unbankable).

“Tidak hanya itu, Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif energi baru dan terbarukan yang urung disahkan tahun ini menyebabkan ketidakpastian dan menghambat investasi proyek energi terbarukan di Indonesia,” kata Handriyanti Puspitarini, Peneliti Senior Energi Terbarukan, Institut Essential Services Reforms (IESR), dalam acara Energy Outlook Transition 2022, Selasa(21/12).

Ia mengatakan, kebijakan yang kurang mendukung berdampak pada investasi energi terbarukan di tahun ini yang tidak signifikan, hanya mencapai US$1,17 miliar dibandingkan tahun 2020 sebesar US$1,12 miliar. Jumlah ini sangat rendah bila dibandingkan dengan kebutuhan investasi untuk dekarbonisasi sistem energi sesuai kajian IESR, sebanyak US$ 20-25 miliar per tahun menuju 2030.

Ditinjau secara teknis dan ekonomis, secara global, baik teknologi maupun biaya energi terbarukan semakin kompetitif dalam beberapa tahun terakhir. Hasil lelang PLTS terakhir menghasilkan biaya listrik US$0,04/kWh, lebih rendah dari rata-rata PLTU batubara yang menelan biaya US$0,05-0,07/kWh. Saratnya subsidi dan dukungan regulasi pemerintah terhadap PLTU batubara disinyalir membuat biaya PLTU batubara rendah. Jika menggunakan harga pasar aktual, dengan harga batubara US$150/ton (September 2021), biaya pembangkitan listrik PLTU bisa mencapai US$0,09-0,11/kWh.

Menurut Handriyanti, meskipun proyek energi terbarukan sudah semakin ekonomis, investasi energi terbarukan masih dinilai kurang atraktif.
“Hal utama yang perlu disorot adalah ketidak-familiaran bank-bank dan investor lokal terhadap risiko proyek energi terbarukan yang sebenarnya lebih rendah daripada proyek energi fosil, menimbang harga teknologi secara tren globalnya yang juga semakin menurun. Selain itu, lamanya proses perizinan dan kompleksitas mekanisme pengadaan juga dilihat sebagai dua hal yang sering kali membuat biaya pendanaan proyek energi terbarukan menjadi lebih tinggi daripada yang direncanakan sehingga pengembang sulit menentukan angka kebutuhan investasi yang tepat dan pasti untuk diajukan kepada para institusi pendanaan,” kata Handriyanti.(RA)