BOGOR– Harita Nickel, kelompok usaha pertambangan mineral, saat ini gencar mengembangkan pemurnian (smelter) nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara dengan investasi mencapai US$ 1 miliar atau lebih dari Rp15 triliun.

Tony H Gultom, Direktur Operasi Harita Nickel, mengatakan nilel saat ini menjadi komoditas incaran global seiring maraknya produksi mobil listrik. Hal ini disebabkan nikel adalah salah satu bahan baku utama untuk menghasilkan bahan baku baterai. “Masa depan industri nikel ke depan sangat cerah. Kit beruntung memiliki potensi sumber daya alam nikel,” kata Tony saat media gathering di Bogor, Sabtu (5/11/2022).

Menurut Tony, nikel sebelumnya digunakan 70% untuk memenuhi produk stainles steel dan 16% baterai. Ke depan, sekitar 2040 persentasinya akan berubah, yaitu 40% memasok kebutuhan baterai dan sisanya untuk stainless steel. Jauh sebelum era mobil listrik, Harita menjadi pionir
dalam memproduksi mixed hydroxide precipitate (MHP). Sekadar diketahui, MHP adalah salah satu bahan baku baterai yang antara lain digunakan untuk kendaraan listrik.

“Kami belum berencana mengembangkan usaha pengembangan industri penghasil baterai karena tak mudah,” ujar Tony.

Harita Nickel saat ini memiliki lima anak perusahaan, masing-masing-masing perusahaan bergerak di pertambangan Nikel, yaitu PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT Gane Permai Sentosa (GPS). Tiga lainnya bergerak di sektor hilirisasi, yaitu PT Halmahera Jaya Ferronicel (HJF), PT Halmahera Persada Lygend (HPL), dan PT Megah Surya Pertiwi (MSP).

TBP mengantungi IUP yang akan berakhir pada 8 Februari 2030 dengan luas 4.247 ha. TBP menambang bijih nikel untuk bahan baku pabrik pengolahan MSP dan pabrik pengolahan
& pemurnian HPL, serta ekspor bijih.

PT Gane Permai Sentosa (GPS) juga menambang nikel, di atas lahan seluas 1.128,83 Ha, dengan izin IUP hingga 22 Maret 2030. Produksi penambangan bijih nikel sebagai bahan baku pabrik pengolahan MSP.

Adapun untuk kegiatan hilirisasi dikerjakan oleh PT MSP yang diketahui telah membangun empat jalur pabrik pengolahan (smelter) mineral bijih nikel, berkapasitas 240.000 MT Feronikel per tahun, dengan total investasi mencapai U$ 361 juta. Sedangkan PT HPL membangun pabrik pengolahan dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang telah beroperasi sejak Juni 2021. HPL tengah membangun smelter mineral bijih nikel dengan kapasitas 870,000 MT/ tahun Feronikel, dengan investasi US$ 703 juta.

Tony menegaskan, saat ini fokus perusahaan nikel adalah mengolah sisa hasil pengolahan (SHP) nikel yang jumlahnya sangat banyak, yaitu 90-97% karena bijih tidak bisa masuk line produksi seluruhnya.

“Di berbagai dunia persoalan SHP menjadi penting.Kami memanfaatkan semua SHP atau slag nikel jadi batako kelas premium,” jelas Tony. (DR)