Pembangkit listrik tenaga mikro hidro banyak menjadi andalan untuk melistriki masyarakat di daerah terpencil.

JAKARTA – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah diharapkan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) energi baru terbarukan (EBT). RUU EBT diperlukan untuk payung hukum dalam berinvestasi di sektor energi baru terbarukan.

“RUU Energi Baru Terbarukan sudah di DPR, sudah masuk prolegnas 2019. Penyusunan ini melibatkan seluruh stakholder termasuk asosiasi ET dan perguruan tinggi,” kata Surya Dharma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) kepada Dunia Energi, Jumat (4/1).

Surya mengakui bahwa hingga saat ini pengembangan energi terbarukan masih menemui berbagai kendala.

Pada dasarnya pemerintah Indonesia dapat mengidentifikasi dan mempromosikan peluang di mana energi baru terbarukan adalah pilihan yang paling murah.

Pemerintah Indonesia dapat mengurangi hambatan-hambatan untuk proyek-proyek energi baru terbarukan yang kompetitif.

“Misalnya, pemerintah Indonesia bisa menjaga stabilitas politik, menghapus hambatan regulasi dan merampingkan proses untuk persetujuan dan perizinan proyek-proyek energi baru terbarukan, memastikan bahwa proyek elektrifikasi yang tidak terjangkau jaringan listrik nasional menggunakan teknologi yang mempunyai biaya yang paling rendah (ini berarti mengambil langkah-langkah untuk transisi dari diesel ke tenaga surya dan tenaga hidro untuk microgrid),” ungkap Surya.

Pemerintah juga dapat mengevaluasi kembali persyaratan perdagangan dan konten lokal yang dapat meningkatkan biaya dan menyulitkan pengembang energi baru terbarukan untuk mencapai target biaya 85%. Serta mengembangkan situasi yang baik di mana proyek energi terbarukan cenderung dibawah BPP.

Selain itu, pemerintah juga harus membuat kondisi yang adil untuk pengembang energi baru terbarukan dengan mempertimbangkan eksternalitas negatif dari bahan bakar fosil seperti polusi.

Pemerintah juga perlu mengembangkan keahlian dalam manajemen jaringan, memutakhirkan perangkat keras jaringan, dan menambah penyimpanan energi untuk mengatasi masalah intermitensi dari energi baru terbarukan seperti tenaga surya dan tenaga bayu.

Langkah-langkah ini dapat didukung melalui bantuan-bantuan internasional dari segi keuangan dan teknis. Tindakan pemerintah juga diperlukan dalam mengubah insentif PT PLN (Persero) sehingga kepentingannya lebih berpatok terhadap energi baru terbarukan. Pemerintah Indonesia juga bisa mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa mereka menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendukung energi baru terbarukan.

Surya mengatakan, walaupun Indonesia masih belum menjadi negara yang ramah untuk investor energi baru terbarukan tetapi energi jenis ini telah membuat kemajuan yang cukup signifikan di Indonesia.

“Misalnya, total kapasitas terpasang dari pembangkit listrik tenaga panas bumi telah berlipat ganda dalam 10 tahun terakhir dan pemerintah Indonesia memiliki rencana untuk mendukung perluasan energi baru terbarukan dalam dekade berikutnya,” katanya.

Indonesia juga sudah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/angin (PLTB) yang komersial di Sidrap, Sulawesi Tengah, sebesar 75 MW yang telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo dan sudah beroperasi sejak bulan April 2018. Akan ada commissioning lagi di Sidrap Fase II sebesar 72 MW.

Indonesia juga akan membangun PLTB di Kalimangan Selatan sebesar 16 MW. Ada juga beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang masih dalam tahap konstruksi dengan kapasitas 800 MW di Sumatera dan 500 MW di Sulawesi. Pemerintah Indonesia juga telah memperluas penggunaan Biodesel sebesar 20 % (B20) pada Bahan Bakar Minyak (BBM).

Namun demikian, kata Surya, Indonesia kemungkinan tidak akan mencapai target 23 % energi baru terbarukan pada 2025 karena pemerintah masih memprioritaskan energi murah daripada energi bersih dan ini akan menyulitkan Indonesia untuk berinvestasi dalam energi baru terbarukan tanpa insentif-insentif yang dapat mendukungnya.

“Tanpa peningkatan tarif atau peningkatan subsidi, Kementerian ESDM dan PLN tidak dapat menawarkan perjanjian pembelian tenaga listrik yang lebih baik untuk pengembang energi baru terbarukan dan ini akan menjadi penghalang utama bagi pengembang energi baru terbarukan di Indonesia,” tandas Surya.(RA)