JAKARTA – Pertamina NRE memiliki peran strategis dalam pencapaian aspirasi PT Pertamina (Persero) untuk mencapai net zero emission (NZE) tahun 2060, yaitu melalui pembangunan bisnis energi hijau dan bisnis baru. Tidak hanya di sektor pembangkitan listrik, Pertamina NRE juga fokus pada energi hijau di sektor lain, seperti hidrogen hijau, perdagangan karbon, nature based solution (NBS), dan baterai.

Direktur Proyek dan Operasi Pertamina NRE, Norman ginting, menyampaikan komitmen Pertamina mendorong transisi energi diwujudkan pembentukan Subholding Renewable Energy. Menurut Norman proses dekarbonisasi mencakup dua Hal, yakni inisiatif baru dalam pengembangan energi terbarukan serta efisiensi energi. Dua hal tersebut saat ini menjadi fokus PNRE.

“Komitmen Indonesia untuk capai NZE, didominasi energi terbarukan. Langkah nyata Pertamina melalui spending capex lebih masif dalam pengembangan energi terbarukan. Total capex 2022-2026 US$70-80 billion,” ujarnya dalam DE Talk yang digelar Dunia Energi bertema Invest in Our planet: An Action to end solutions for environmental challenges, Selasa (17/5/2023).

Norman mengungkapkan sejumlah milestone telah dilakukan PNRE, termasuk inisiatif pengembangan hidrogen bersih. Salah satu inisiatif hidrogen yang dilakukan Pertamina NRE adalah kolaborasi dengan TEPCO di mana saat ini telah selesai dilakukan pre feasibility study. Proyek ini didukung oleh NEDO, lembaga riset dan pengembangan nasional Jepang yang mendorong pengembangan teknologi dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang berkelanjutan. Di sektor pembangkitan, Pertamina NRE saat ini sedang melaksanakan proyek PLTS skala besar di Rokan dengan tahap pertama berkapasitas 25 MW.

Norman menjelaskan sejumlah tantangan dalam pengembangan energi terbarukan antara lain isu lahan, komersialisasi, teknologi, financing, serta regulasi. Salah satu isu utama dalam hal teknologi adalah sifat energi terbarukan yang cenderung intermiten, diharapkan dapat diterima dalam sistem kelistrikan. Dengan demikian, penetrasi energi terbarukan bisa lebih dioptimalkan.

“Untuk financing sudah banyak yang berikan green financing, sedangkan dari sisi regulasi diharapkan terus tumbuh berkembang lebih kuat. Energi terbarukan bisa diterima lebih masif, tentu prosesnya perlu improvement untuk bisa mencapai target. Perlu perbaikan regulasi revisi Amdal, karena kalau prosesnya lama tentu perlu effort yang lebih besar,” ujar Norman.

PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) juga akan melanjutkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di blok Rokan pada tahun ini.
Sekretaris Perusahaan PHR Rudi Ariffianto, , mengatakan saat ini proses kajian untuk ekspansi PLTS di Rokan telah dimulai. Nantinya total PLTS yang dipasang di Rokan berkapasitas mencapai 250 MW terdiri dari 50 MWp tahap I dan tahap II 200 MWp.

Rudi mengungkapkan dana yang dibutuhkan untuk pengembangan PLTS mencapai US$160 juta.
“Ini masih fokus ke 25 MWp yang sudah terinstall kita coba optimalkan pemanfaatannya,” kata Rudi.

PLTS nantinya bukan untuk mengganti pembangkit eksisting, akan tetapi memenuhi peningkatan kebutuhan listrik seiring dengan peningkatan aktivitas kerja di Rokan demi mengejar target produksi. PLTS Rokan akan dibangun di atas lahan seluas 203,4 hektar dengan jumlah panel surya yang akan dipasang sebanyak 381.700. Penggunaan PLTS akan memangkas konsumsi bahan bakar gas hingga 2.112 MMscf per tahun dengan emisi yang sukses dikurangi mencapai 181 ribu per ton.

“Kita targetkan ada peningkatan produksi 400 ribu Barel per Hari (BPH) di beberapa tahun ke depan, tentu pemboran sumur akan tambah dari saat ini sekitar 660 sumur baru lakukan pemboran, jika mau capai produksi itu tidak kurang 1.000an sumur dibor artinya ada kebutuhan tambahan energi harus disiapkan keberadaan PLTS boleh dikatakan tidak mengganti kebutuhan ada saat ini tapi menambah kita butuh tambah lagi,” ujar Rudi.(RA)