LIMA mangkuk putih berjejer di atas kayu warna cokelat sepanjang 1,25-1,35 meter dengan lebar sekitar 17-20 cm. Laki-laki paruh baya itu menuangkan mie dari dalam panci yang ada di gerobak ke dalam mangkuk yang sebelumnya diisi toge dan beberapa lembar daun sawi serta sedikit garam dan mecin. Sebentar kemudian, pria berperawakan sedang itu memasukkan masing-masing empat bakso ukuran kecil dan satu bakso ukuran sedang ke dalam mangkuk.

Suprianto, itulah sang penjual mie bakso di kawasan Perumahan Bojong Depok Baru 2 Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sudah lebih dari lima tahun Supri berjualan di tempat itu. Di pagi hari, Supri jualan masakan dan goreng-gorengan seperti bakwan, tempe goreng, dan tahu goreng. “Siang hingga sore saya jualan mie bakso,” ujar Supri kepada Dunia-Energi, Sabtu (30/11).

Saat harga bahan baku untuk masakan terus terkerek, Supri beruntung bisa menekan biaya bahan bakar. Sebelumnya, dia menggunakan gas tabung 3kg untuk menggoreng dan memasak. Sejak 2,5 tahun lalu memakai jaringan pipa gas yang dikelola PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, perusahaan energi terintegrasi yang juga subholding gas PT Pertamina (Persero). Saat memakai gas tabung Supri mesti membeli gas tabung setiap dua hari sekali, sedangkan tabung 12 kg setiap empat hari sekali. Boros tentu saja, apalagi harga gas elpiji tabung 3kg dan elpiji kemasan 12 kg tidak murah.

“Alhamdulillah, setelah beralih ke jaringan pipa gas, saya tak lagi memakai tabung gas. Penghematan juga cukup besar. Saya hanya bayar Rp 130 ribu-Rp150 ribu per bulan,” ujar warga RT 9 RW 17 Kelurahan Sukahati tersebut.

Selain hemat, dibandingkan gas tabung, tambah Supri, penggunaaan jaringan pipa gas juga sangat aman bagi konsumen. Di luar itu, konsumen juga bisa mengatur tekanan gas yang ingin digunakan.

Pengalaman serupa juga dialami Putri, warga RT 4 RW 17 Kelurahan Sukahati. Sejak tiga tahun lalu, perempuan kelahiran 45 tahun silam itu mengonversi penggunaan bahan bakar di dapur dari gas elpiji tabung 12 kg ke jaringan pipa gas.

“Kendati saya jarang memasak saat menggunakan gas tabung, harga gas tabung tetap saja mahal. Makanya, ketika masuk jaringan pipa gas PGN ke Cibinong, kami mayoritas warga di sini langsung memasang jaringan,” jelas Putri.

Putri pun bisa hemat dari pengunaan jaringan pipa gas. Maksimal tiap bulan Putri hanya keluar uang Rp50 ribu untuk pembayaran iuran gas.

Menurut Putri, Perumahan Bojong Depok Baru Unit 1, 2, dan 3 sudah mendapatkan fasilitas jaringan pipa gas dari PGN. Kata dia, tekanan gas alam yang digunakan via jaringan pipa lebih rendah dibandingkan gas tabung. Dengan demikian, ibu rumah tangga merasa lebih aman menggunakan jaringan pipa gas, apalagi gas pipa yang dijual PGN merupakan jenis gas metana berbobot jenis ringan. Aliran gasnya cepat dan gampang menguap sehingga minim risiko kebakaran. Sedangkan gas elpiji merupakan gas propana dengan bobot massa lebih berat, mudah tersulut.

“Dengan jaringan pipa gas kita juga tak perlu khawatir saat masak. Lebih aman dan tidak bingung seperti halnya bila menggunakan gas tabung yang ngedadak habis. Kita tak usah nyari-nyari lagi yang bikin ribet,” ujarnya.

Kepraktisan dan kehematan penggunaan penggunaan pipa gas memang menarik minat konsumen. Masih di Kabupaten Bogor, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bekerja sama dengan PGN, menambah jaringan gs untuk rumah tangga dan pelanggan kecil (jargas) sebanyak 5.120 (SR) pada akhir Februari 2019. Dengan penambahan tersebut total jaringan gas di Kabupaten Bogor yang sudah terpasang sebanyak 9.120 rumah.

Dila Seno Widagdo, Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN, mengatakan penambahan jargas yang menyasar pengguna rumah tangga/usaha kecil diharapkan meningkatkan penggunaan energi baik yang lebih terjamin dan murah. Pembangunan jargas di wilayah Bogor, termasuk Serang, dan Cirebon merupakan proyek yang didanai anggaran Kementerian ESDM.

Pada tahap pengoperasian, PGN memanfaatkan sumber gas berasal dari PT Pertamina EP, dengan volume mencapai 0,2 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Dalam rencana pengoperasian, jargas tersebut mengaliri sebanyak 5.120 SR, tepatnya di wilayah Kecamatan Cibinong dan Bojong Gede. “Perluasan jargas ini adalah upaya bersama untuk memperluas dan pemerataan pemanfaatan kekayaan alam negeri ini,” ujar Dilo.

Secara nasional target jargas adalah satu juta rumah tangga/usaha kecil tiap tahun mulai 2020 sehingga mampu mencapai target 4,7 juta sambungan pada 2025. Program jargas menjadi langkah strategis pemrintah. Peningkatan penggunaan gas bumi untuk keperluan dalam negeri sejalan dengan keinginan mendiversifkasi energi, penggunaan subsidi (elpiji), dan penyediaan energi bersih dan murah.

Sekadar ilustrasi, konsumsi elpiji nasioal mencai 5 juta metrik ton per tahun. Ini jauh di atas produksi nasional yang hanya 14 juta metrk ton per tahun. Subsidi elpiji sebesar Rp 1,2 ton per tahun bisa dihemat jika program jargas bisa memenuhi target. Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2010 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2011 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelakanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 menjadi dasar kuat untuk menjalankan program tersebut.

Sejauh ini pemerintah dan PGN bahu-membahu memperluas pembangunan jargas. Ke depan, akan banyak skema yang bisa digunakan untuk merealisasikan pembangunan jargas. Apalagi gas merupakan energi masa depan yang sangat membantu kehidupan masyarakat. Indonesia melalui PGN mempunyai potensi besar sebagai penyangga dan pelayan bagi masyarakat.

Di sisi lain, menurut Dilo, terdapat beberapa keunggulan gas pipa, khususnya yang didistribusikan PGN, antara lain berasal dari kekayaan gas bumi di dalam negeri. Artinya, dari sisi makro, penggunaan gas pipa bagi konsumsi rumah tangga, tak membebani neraca perdagangan lantaran impor gas yang terjadi pada gas elpiji. Keunggulan lain yakni konsumen cukup membayar Rp4.000 per m3.

Sebaliknya, untuk konsumsi elpiji 3 kg, konsumen harus merogoh kocek hampir Rp6.000 per m3, itupun mesti ditopang subsidi yang membebani negara. “Praktis lebih hemat. Ini energi baik yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” katanya.

Intergrasi Infrastruktur

Pemerintah telah lama berkeinginan mengonsolidasikan BUMN dalam sektor minyak dan gas bumi untuk menciptakan efisiensi yang lebih besar. Pada awal 2018, dengan persetujuan pemegang saham PGN, pemerintah mengalihkan seluruh saham seri B dalam PGN ke Pertamina yang memberikan Pertamina pengendalian mayoritas terhadap PGN sebesar 57%. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018.

PGN mengambilalih saham mayoritas anak perusahaan milik Pertamina, yaitu PT Pertamina Gas (Pertagas) termasuk lima anak perusahaan Pertagas, yaitu PT Pertagas Niaga, PT Perta Arun Gas, PT Perta Daya Gas, PT PertaSamtan Gas, dan PT Perta Kalimantan Gas. Akuisisi Pertagas dan anak perusahaannya telah diselesaikan pada tanggal 28 Desember 2018 dengan skema 50% pembayaran tunai dan 50% dengan surat sanggup, untuk total nilai transaksi sebesar US$ 1,35 miliar.

Gigih Prakoso, Direktur Utama PGN, mengatakan apabila digabungkan portofolio pengelolaan infrastruktur, PGN dan Pertagas mewakili 95% infrastruktur gas bumi hilir nasional yang mencakup hampir 10.000 km jaringan pipa. Transaksi ini membuka jalan bagi proses integrasi dan pengembangan infrastruktur dan bisnis gas bumi yang siap dijalani oleh PGN ke depan.

Selain itu, menurut Gigih, ke depannya PGN harus menyadari bahwa PGN cenderung akan dihadapkan pada tekanan yang makin tinggi yang disebabkan oleh penerapan regulasi baru tentang biaya niaga di kegiatan usaha niaga gas bumi maksimum sebesar 7% dari harga gas bumi hulu, dan penetapan batas tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return-IRR) maksimal 11% untuk proyek-proyek infrastruktur gas bumi. Kendati demikian, para investor diperbolehkan untuk mengusulkan IRR maksimum 12% jika infrastruktur gas bumi dibangun di daerah baru sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 58 tahun 2017. “Regulasi ini menuntut PGN untuk mengambil langkah proaktif dalam mengantisipasi perubahan-perubahan ini, termasuk naiknya belanja modal dan efisiensi biaya operasional,” ujarnya.

Perkembangan posisi PGN saat ini sebagai subholding gas dalam struktur holding BUMN Migas adalah menjalankan bisnis gas bumi secara terintegrasi dari midstream sampai dengan downstream. Integrasi ini diperkirakan menghasilkan sejumlah manfaat, seperti rantai pasokan gas bumi yang efisien yang kemudian dapat menciptakan harga gas bumi yang kompetitif bagi konsumen, penyelarasan dalam pembangunan infrastruktur gas bumi yang dapat meningkatkan kapasitas dan volume gas bumi yang ditransaksikan, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja finansial perusahaan secara konsolidasi.

“Sekarang PGN adalah pemain gas bumi terbesar di Indonesia dan menuju pemain energi global. Kolaborasi dengan Pertagas dan beberapa perusahan terafiliasi lainnya akan memberi manfaat jangka panjang lam memenuhi kebutuhan energi yang ramah lingkngan, efisien, dan sumbernya tersedia sangat besar,”ujarnya.

IGN Wiratmadja Pudja, Komisaris Utama PGN, mengatakan integrasi infrastruktur harus memperkuat efisiensi dan sinergi
yang akan memungkinkan PGN untuk memperluas penggunaan gas bumi, sejalan dengan keinginan Pemerintah untuk mendorong pemanfaatan gas bumi sebagai bahan bakar bersih seperti yang diproyeksikan dalam kebijakan energi nasional. “Konsolidasi ini juga akan memperkuat daya saing PGN baik regional maupun global, sebagai bagian untuk menjadikan PGN sebagai perusahaan kelas dunia dan mendukung kedaulatan energi nasional,” ujar Wirat di Jakarta, Selasa (27/11).

Menurut dia, posisi PGN sebagai subholding gas menempatkan perusahaan menyederhanakan proses pengambilan keputusan pada pengembangan gas bumi. PGN memiliki akses langsung melalui tangan Pemerintah dan sebagai pelaku industri energi. Dengan struktur ini, memantapkan peran PGN untuk menjadi yang utama dalam pengelolaan infrastruktur gas bumi nasional. “Struktur ini juga menggambarkan peran penting gas bumi pada strategi jangka panjang dalam rangka pemenuhan energi yang berkelanjutan,” katanya.

Pengembangan infrastruktur memang jadi keniscayaan. Apalagi Pertumbuhan PDB diproyeksikan tetap bertahan kuat sesuai dengan rata – rata nilai pertumbuhannya. Dengan adanya penurunan tingkat kemiskinan dan bertumbuhnya urbanisasi, akan menumbuhkan permintaan akan energi, khususnya gas bumi, dari dampak tumbuhnya perekonomian. Kombinasi dari populasi yang muda, bertumbuhnya urbanisasi dan meningkatnya belanja rumah tangga, menunjukkan bangkitnya pertumbuhan akan energy opportunity. Apalagi, sebesar 2/3 volume gas bumi dari PGN digunakan untuk membangkitkan energi listrik yang konsumsinya diproyeksikan terus meningkat.

Saat ini, ketersediaan listrik mencapai 93,35% dari populasi. Populasi itu tidak hanya meningkat lebih banyak, tetapi juga semakin makmur. Kebutuhan listrik Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga, masih relatif rendah, menunjukkan potensi pertumbuhan permintaan yang berkelanjutan.

Prospek ke depan permintaan gas bumi akan melampaui produksi domestik. Karena itu, PGN sejatinya bertumbuh bersama Indonesia, dengan menyediakan infrastruktur yang fleksibel untuk menyeimbangkan produksi gas domestik dengan impor dan juga ekspor gas bumi. PGN perlu segera mengonsolidasi infrastruktur gas dengan Pertagas demi mendapatkan tingkat efisiensi yang maksimum. Penghematan dari konsolidasi tersebut diperkirakan mencapai US$130 juta.

PGN kini telah bertumbuh, dan membangun cara untuk menjangkau berbagai wilayah, melebihi batasan jaringan gas pipa, melalui distribusi CNG dan LNG ke berbagai kawasan industri dan kawasan komersial. Di luar itu, secara operasional manajemen PGN berhasil meningkatkan kondisi kondusif ini untuk melakukan beberapa perbaikan besar dengan melanjutkan penerapan strategi Solusi Terintegrasi 360 Derajat PGN.

Menurut Rachmat Hutama, Sekretaris Perusahaan PGN, strategi ini bertujuan menyediakan solusi yang terdiri atas layanan terintegrasi dari upstream sampai dengan downstream untuk kebutuhan industri, dalam menghasilkan produk yang baik dalam tahun pertamanya melalui solusi yang berorientasi terpusat pada konsumen yang meliputi solusi penggunaan gas bumi, solusi pasokan gas bumi untuk semua segmen pengguna, solusi rekayasa, dan solusi sistem pendukung lainnya.

“Inisiatif ini membantu menggerakkan penjualan melalui identifikasi dan memenuhi kebutuhan pengguna dalam cara yang lebih tepat sasaran, dan melalui peningkatan layanan pelanggan,” ujarnya.

Secara pararel, lanjut Rachmat, PGN terus berinvestasi dalam mengembangkan infrastruktur pipa gas buminya, mengembangkan struktur biayanya, dan memperkuat bisnis non-intinya. PGN juga telah menye;esaikan banyak proyek infrastruktur seperti distrbusi gas dan instalasi infrastruktur gas bumi ke konsumen baru di semua area kerja, maupun menyelesaikan konstruksi jaringan pipa distribusi, maupun instalasi infrastruktur gas bumi di bawah program jargas yang berdasarkan penugasan Pemerintah ke rumah tangga di sejumlah daerah.

Dalam jangka panjang, sinergi yang diciptakan melalui konsolidasi PGN-Pertagas, terutama dengan Pertamina sebagai perusahaan induk yang baru, merupakan bukti bahwa PGN memiliki potensi untuk melangkah lebih dari perusahaan gas bumi dan menjadi sebuah perusahaan layanan energi terintegrasi yang menyediakan produk dan layanan yang terkait
dengan gas bumi, CNG dan LNG secara regional.

IGN Wiratmadja Puja menjelaskan PGN sudah memulai proyek pilot niaga di Hong Kong sebagai langkah pertama menuju visi jangka panjang ini, yang memerlukan perluasan kompetensi perusahaan ke luar negeri di dalam kawasan. Hal ini bertujuan  mendukung penggunaan gas bumi untuk pertumbuhan industri dan rumah tangga yang pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan nasional melalui pengembangan infrastruktur, menaikkan jumlah rumah tangga yang tersambung dengan gas bumi, dan menciptakan nilai bagi pemegang saham dan melayani masyarakat Indonesia lebih baik saat PGN melangkah ke depan menjadi perusahaan gas bumi regional.

Subholding gas menjadikan tanggung jawab PGN menjadi lebih besar untuk dapat menyalurkan energi gas bumi bagi kebutuhan industri dan masyarakat Indonesia. Integrasi infrastruktur akan memperkuat posisi PGN mencapai visinya sebagai perusahaan energi global pada 2020. (yurika indah prasetianti)