JAKARTA – Pemerintah sudah menegaskan akan menggenjot ketersediaan pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT). Salah satu cara untuk mempercepat pembangunan pembangkit listrik EBT adalah dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik yang bersumber dari energi terbarukan.

Berdasarkan draf Perpres yang diterima Dunia Energi Perpres anyar tersebut akan mengatur harga jual listrik EBT dengan tiga mekanisme.

Mekanisme pertama adalah dengan Feed In Tariff (FIT), Harga Patokan Tertinggi (HPT), dan harga kesepakatan tenaga listrik dari pembangkit peaker.

Rencananya implementasi dari perpres EBT akan dilakukan secara staging. Dalam 10 tahun pertama harga listrik pembangkit EBT akan tinggi, baru setelah 10 tahun beroperasi tarif listrik akan turun.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, gambaran beberapa tarif listrik dalam draft Perpres harga EBT misalnya untuk harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) kapasitas kurang atau sama dengan 10 megawatt (MW) menggunakan skema FIT yakni sebesar US$ 9,90 sen per kWh.

PLTA kapasitas 10-50 MW dengan skema HPT yakni sebesar US$ 8,00 sen per kWh dan kapasitas lebih dari 100 MW dengan skema HPT yakni sebesar US$ 6,80 sen per kWh. Sedangkan, untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan menggunakan sistem peaker yakni bersifat negosiasi.

Kemudian, untuk harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) kapasitas kurang atau sama dengan 10 Mega Watt Peak (MWp) menggunakan skema FIT yakni sebesar US$ 10,15 sen per kWh. Sedangkan untuk PLTS kapasitas lebih atau sama dengan 10 MWp menggunakan skema HPT yakni sebesar US$ 7,5 sen per kWh.

Kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 10-50 MW dengan menggunakan HPT yakni sebesar US$ 8,92 sen per kWh. PLTP dengan kapasitas 50-100 MW dengan menggunakan skema HPT yakni sebesar US$ 8,19 sen per kWh dan untuk PLTP berkapasitas lebih dari 100 MW menggunakan skema HPT yakni sebesar US$ 7,25 sen per kWh.