JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya menerbitkan aturan terkait harga patokan untuk tata niaga nikel dalam negeri melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2020. Beleid tersebut merupakan perubahan ketiga atas Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2017 tentang tata cara penetapan harga patokan penjualan mineral logam dan batu bara.

Salah satu poin utama adalah para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi (OP) mineral logam dan IUPK OP mineral logam yang memproduksi bijih nikel wajib mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM) logam dalam melakukan penjualan bijih yang diproduksi. Kewajiban untuk mengacu pada HPM logam juga berlaku bagi pemegang IUP/IUPK OP mineral logam dalam menjual bijih nikel yang diproduksi kepada afiliasinya.

Kemudian pihak lain yang melakukan pemurnian bijih nikel yang berasal dari pemegang IUP/IUPK OP mineral logam wajib melakukan pembelian bijih nikel dengan mengacu pada HPM logam. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2A.

Dalam pasal 3 kemudian diatur penghitungan HPM logam yang merupakan batas bawah dalam penghitungan kewajiban pembayaran iuran produksi oleh pemegang IUP/IUPK OP Mineral Logam, dan acuan harga penjualan bagi pemegang IUP/IUPK OP untuk penjualan bijih nikel.

Dalam aturan ini, pemerintah mengatur batas harga dasar (floor price) dengan menetapkan rentang toleransi (buffer) jika harga transaksi lebih dari HPM logam. Apabila harga transaksi lebih rendah dari HPM logam pada periode kutipan sesuai harga mineral logam acuan atau terdapat penalti atas mineral pengotor (impurities), penjualan dapat dilakukan di bawah HPM logam dengan selisih paling tinggi 3%.

Sementara itu, apabila harga transaki lebih tinggi dari HPM logam pada periode kutipan sesuai harga mineral logam acuan atau etrdapat bonus atas mineral tertentu, penjualan wajib mengikuti harga transaksi diatas HPM logam.

Lebih lanjut, Pasal 9B di aturan ini mengatur bahwa pemegang IUP/IUPK OP mineral logam harus menunjuk pihak ketiga sebagai wasit (umpire) yang disepakati bersama dalam kontrak penjualan dengan pihak pembeli di dalam negeri. Pihak ketiga merupakan surveyor yang terdaftar yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Dalam hal terdapat perbedaan hasil verifikasi kualitas Mineral Logam antara Pemegang IUP/IUPK OP Mineral Logam dengan pihak pembeli di dalam negeri, penentuan kualitas Mineral Logam mengacu pada hasil pengujian yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Jika ada pihak yang melanggar atau tidak memenuhi aturan tersebut, pemerintah menyiapkan peringatan dan sanksi, mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha, hingga pencabutan izin. Adapun, Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 ini mulai berlaku setelah 30 hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) sudah lama menuntut adanya pengaturan tata niaga nikel domestik. Regulasi yang diharapkan juga menyangkut harga transaksi bijih nikel yang dibeli dari penambang oleh pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter), lantaran harga bijih nikel yang dijual ke smelter domestik seringkali jauh di bawah harga internasional maupun HPM.

Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal APNI, mengatakan kondisi yang teradi selama ini jelas sangat memberatkan penambang. Apalagi setelah pemerintah mempercepat larangan ekspor bijih nikel kadar rendah sejak 1 Januari 2020 lalu. Saat ini, penambang nikel pun terbebani efek pandemi Corona (covid-19) yang ikut menekan perusahaan yang bergerak di komoditas nikel, baik secara operasional maupun bisnis. “Para penambang saat ini banyak dalam posisi diam tidak produksi, menunggu janji pemerintah untuk tata niaga nikel domestik,” kata Meidy.(RI)