JAKARTA – Pelaku usaha tambang nikel selama ini lebih memilih untuk menjual hasil produksi bijih nikelnya (nikel ore) ke luar negeri atau diekspor dibanding menjual ke dalam negeri. Pasalnya harga jual bijih nikel ekspor lebih baik dibanding ke dalam negeri, sehingga hasil penjualannya bisa digunakan untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter.

Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal  Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia,  mengungkapkan pada praktiknya ada ketidakadilan dalam bisnis nikel di tanah air.

Ketidakadilan pertama adalah kadar nikel yang mau diterima oleh pabrik domestik minimal 1,8%. Apabila dibawah kadar itu maka harganya akan terus berkurang.

Salah satu penyebab rendahnya harga bijih nikel yang dibeli adalah dalam mekanisme penentuan kadar nikel. Berdasarkan rekomendasi pemerintah dalam surat edaran Kementerian ESDM No 05.E/30/DJB/2016 tentang surveyor dalam rangka pelaksanaan kegiatan penjualan atau pengapalan mineral dan batu bara ada lima perusahaan yang berhak menentukan kadar nikel sesuai dengan surat edaran menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service dan Anindya (Citra Buana). Hasil penilaian ini akan menjadi basis bagi pembayaran royalti pelaku usaha kepada negara.

Namun pembeli dalam hal ini perusahaan smelter justru menunjuk Intertek perusahaan diluar yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan pengujian kadar nikel.

“Yang dipakai itu surveyornya Intertek. Itu yang gunakan pembeli (nikel ore),” kata Meidy dalam diskusi di kantor Asosiasi Pertambangan Nikel di Jakarta, Kamis (22/8).

Hasilnya terjadi perbedaan jauh dari hasil uji kadar logam nikel antara hasil yang dilakukan oleh surveyor direkomendasikan pemerintah saat FOB dengan surveyor yang ditunjuk oleh pembeli bijih nikel pada saat CIF (ketika barang sampai di konsumen) berbeda sangat jauh.

“Sewaktu FOB ya 1,7%  hasilnya, tapi saat disurvei lagi oleh Intertek menjadi 1,3% atau 1,5%. Ini kan jauh sekali bedanya, kalau nol koma sekian masih wajar,” kata Meidy.

Belum lagi dalam proses pembayarannya butuh waktu berbulan-bulan. Sementara jika diekspor para pelaku usaha bisa mendapatkan Letter of Credit (LoC), sehingga bisa kembali mendapatkan dana untuk investasi atau kegiatan operasional selanjutnya. “Proses pembayaran bisa lama antara 3-5 bulan,” kata Meidy.

Dengan mekanisme yang ada saat ini pelaku usaha tambang juga dikuasai empat perusahaan smelter raksasa yang melakukan kertel terhadap harga bijih nikel memanfaatkan penggunaan surveyor yang berbeda dari yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.

“Jadi ada empat perusahaan besar, saya tidak mau sebut namanya tapi mereka yang kuasai harga, mengkertel,” kata Meidy.

Mekanisme ini juga menekan harga bijih nikel, rata-rata hanya dihargai US$11-US$20 per ton sementara jika diekspor bisa mencapai US$34 per ton saat FOB.

Selama ini ada empat besar yang memiliki smelter dengan kapasitas besar di Indonesia adalah PT Virtue Dragon Nickel Industry, PT Sulawesi Mining Investment, PT Huadi Nickel Alloy, Harita Nickel.(RI)