JAKARTA – Pemerintah saat ini tengah menggodok revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Salah satu poin yang rencananya bakal direvisi adalah pembatasan wilayah tambang agar tidak melebihi 15.000 hektar.

Febriati Nadira, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk (ADRO), mengungkapkan bahwa Adaro sebagai perusahaan yang senantiasa menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) akan senantiasa patuh terhadap aturan yang berlaku.

Namun demikian ada beberapa poin dalam draft revisi yang seharusnya bisa dicermati agar perubahan regulasi yang ada tidak merubah iklim investasi.

Menurut Nadira, rencana penciutan wilayah tambang di aturan baru nantinya justru bertolak belakang dengan aturan yang lebih tinggi. Pasal 171 UU Minerba menjamin hak pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara (PKP2B) untuk dapat mempertahankan luas wilayah usahanya.

“Pembatasan terhadap luas wilayah sebesar 15.000 hektar justru bertentangan dengan UU Minerba,” kata Nadira saat dihubungi Dunia Energi, Rabu (10/4).

Nadira berharap agar kelangsungan operasi PKP2B dilaksanakan sesuai dengan luas wilayah saat ini (tanpa membatasi sebesar 15.000 hektar) agar tidak mengurangi penerimaan negara yang selama ini diterima.

Pada 2018 Adaro telah memberikan kontribusi kepada negara senilai total US$721 juta,  sebesar US$ 378 juta dalam bentuk royalti dan US$ 343 juta dalam bentuk pajak.

“Sebagai perusahaan nasional, Adaro berkomitmen untuk berkontribusi bagi pembangunan dan kemajuan ekonomi Indonesia melalui pajak dan royalti,” kata Nadira.

Lebih lanjut dia menuturkan sebagai kontraktor pemerintah, perusahaan berharap agar penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang dimaksudkan memberikan kesempatan untuk mengajukan perpanjangan PKP2B dipercepat 5 tahun sebelum masa berakhirnya PKP2B dimana saat ini hanya 2 tahun sebelum kontrak berakhir. Padahal percepatan pengajuan perpanjangan kontrak dapat memberikan kepastian dalam perencanaan dan pelaksanaan investasi.

“Hal ini dapat mendorong iklim investasi yang lebih menarik di bidang pertambangan batubara yang pada akhirnya akan berkontribusi pada penerimaan negara yang optimal,” kata dia.

Menurut Nadia, sebenarnya kepastian perpanjangan ini telah dimuat sejak Adaro menandatangani PKP2B pada 1982, yang secara garis besarnya juga telah diatur dalam pasal 169 (a) UU Minerba jo. Pasal 112 ayat 2 PP No. 23/2010 jo. Pasal 108 Permen ESDM 11/2018 sehingga bukan merupakan suatu konsep yang baru.

“Mengenai kepastian perpanjangan PKP2B dan kelangsungan luas wilayah usaha ini juga telah disepakati oleh Pemerintah dalam amandemen PKP2B pada tanggal 17 Januari 2018,” kata Nadira.

Para perusahaan besar diperkirakan akan menolak draf RPP yang mengatur tentang luas wilayah tambang. Setidaknya ada enam perusahaan yang kontraknya segera habis dan memiliki luas wilayah tambang diatas 30 ribu hektar.

Adaro Energy melalui PT Adaro Indonesia sendiri memiliki luas wilayah tambang 34.940 hektar yang kontraknya habis pada 30 September 2022. Kemudian ada PT Arutmin Indonesia (Bumi Resoruces) memiliki luas tambang 70.153 hektar dan kontraknya akan berakhir pada 2 November 2020. Lalu PT Kaltim Prima Coal (KPC/Bumi Resources) dengan luas wilayah mencapai 90.938 ha yang kontraknya habis pada 31 Desember 2021.

Selanjutnya adalah PT Multi Harapan Utama (MHU) dengan luas wilayah 46.063 ha yang kontraknya habis pada 2 April 2022. PT Kideco Jaya Agung (Indika Energy) kontraknya akan habis [ada 13 Maret 2023 yang memiliki luas wilayah tambang mencapai 50.921 ha lalu ada PT Berau Coal (Sinar Mas Group) dengan luas wilayah tambang saat ini 118.400 ha dan kontraknya akan habis pada 26 April 2025.(RI)