JAKARTA – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meminta BUMN di sektor pertambangan mineral dan batu bara menjadi prioritas untuk melanjutkan kontrak di wilayah tambang yang berakhir masa kontraknya. Hal itu disampaikan Rini Soemarno, Menteri BUMN kepada menteri sekretaris negara sebagai gerbang utama sebelum regulasi baru terkait mineral dan batu bara diterbitkan.

Usulan tersebut ditujukan untuk dimasukkan dalam Revisi keenam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Di dalam surat yang dikirim ke Kementerian Sekretariat Negara pada 1 Maret 2019 yang diperoleh Dunia Energi terungkap, Rini meminta adanya pengaturan tambahan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Minerba untuk penguatan peran BUMN dengan cara adanya Hak prioritas BUMN atau yang disamakan dengan BUMN dalam mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) bagi Kontrak Karya atau PKP2B yang telah berakhir.

Salah satu poin utama perubahan nantinya adalah terkait tenggat permohonan perpanjangan kontrak bagi para perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Dalam aturan baru nanti permohonan perpanjangan PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPKK diajukan dalam jangka waktu paling cepat lima tahun dan paling lambat satu tahun sebelum berakhirnya PKP2B. Padahal dalam beleid sebelumnya paling cepat dua tahun sebelum kontraknya habis.

Poin berikutnya adalah masa IUPK OP perpanjangan adalah sisa umur kontrak ditambah waktu perpanjangan (1 x 10 tahun) sesuai regulasi. PKPK2B adalah aturan baru nanti dianggap telah berakhir ketika permohonan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK disetujui.

Ketentuan hak dan kewajiban IUPK OP perpanjangan berlaku sejak permohonan perpanjangan disetujui Menteri.

Sebagian perusahaan besar batu bara sampai sekarang masih berstatus PKP2B dan segera habis masa kontraknya yakni, PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).

Tidak hanya itu, Rini juga minta penegasan mengenai kewenangan dalam penerbitan IUP atau IUPK bagi BUMN atau yang dipersamakan dengan BUMN oleh Menteri ESDM tanpa kewajiban memperoleh rekomendasi terlebih dulu dari pemerintah daerah.

Kemudian akuisisi saham oleh BUMN atau yang dipersamakan dengan BUMN dalam rangka divestasi saham.

Kemudian Rini juga meminta penyelarasan pasal 112 draft RPP MInerba dimaksud dengan pasal 62 dan pasal 83 UU No 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara mengingat dengan pengaturan pasal 112 draft RPP dimaksud akan mengakibatkan luasan wilayah IUP Pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang memproleh perpanjangan akan melebihi 15.000 ha, melebihi batas yang diatur dalam pasa 62 dan pasal 83 UU minerba.

Menurut Rini, BUMN sebagai kepanjangan tangan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam.

Pemerintah melalui Kementerian BUMN telah menugaskan BUMN di bidang pertambangan untuk melakukan hilirisasi atau benefiasi batubara dalam rangka meningkatkan nilai tambah yang pada akhirnya dapat meningkatkan atau menghemat devisa negara sehingga membutuhkan kebijakan-kebijakan yang mendukung.

Bisman Bakhtiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), menilai bahwa sebuah kewajaran jikj BUMN jadi prioritas untuk mengelola sebuah lahan tambang yang masa kontraknya telah habis.

“RPP tersebut harus memperhatikan kepentingan BUMN dan harus memberikan keutamaan pada BUMN,” kata Bisman saat dihubungi Dunia Energi, Jumat (5/4).

Menurut Bisman,  RPP nanti haruslah adil dengan pengaturan yang memberikan keutamaan pada BUMN dan juga memberikan ruang yang cukup baik juga bagi pelaku usaha umumnya.

Poin utama, kata dia,  dari RPP tidak hanya itu karena beberapa poin lainnya dinilai masih memiliki unsur membela kepentingan.

“RPP revisi PP23/2010 memang perlu dicermati karena sarat akan adanya titipan kepentingan para pelaku usaha tambang besar,” kata Bisman.(RI)