NUSA DUA – Industri hulu migas menghadapi tiga tantangan global yang memengaruhi bagaimana pelaku bisnis merumuskan strategi. Komitmen global terhadap Net Zero Emission tentunya akan mengubah rencana dan prioritas pelaku bisnis dalam jangka menengah dan panjang. Di sisi lain, saat ini terdapat tren peningkatan permintaan dan harga komoditas migas akibat pulihnya ekonomi dunia dari pandemi serta krisis Russia-Ukraina.

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, mengatakan tantangan-tantangan tersebut harus dapat dijawab oleh seluruh insan hulu migas. “Sektor kita harus dapat mendukung terjadinya smooth transition di dalam menuju Net Zero Emission yang telah menjadi komitmen pemerintah, dengan menyediakan kebutuhan energi yang terjangkau dan berkecukupan di masa transisi ini,” kata Dwi, saat berbicara dalam acara Indonesia Human Resources Summit (IHRS) 2022 yang mengusung tema “Post Recovery Leap: Championing Resilient Workforce to Accelerate Digital Transformation and Business Sustainability” di Nusa Dua, Bali, Selasa (28/6).

Menurut Dwi, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), persentase kontribusi minyak dan gas terhadap jumlah energi yang dibutuhkan memang akan menurun dari 63% pada 2020 menjadi 44% pada 2050. Namun secara volume, lanjut dia, kebutuhan minyak dan gas ini justru akan meningkat, dimana Konsumsi minyak di tahun 2050 diperkirakan akan meningkat sebesar 139% dari saat ini yang sebesar 1,66 juta BOPD menjadi 3,97 juta BOPD.

Sedangkan untuk konsumsi gas diperkirakan akan meningkat lebih besar lagi, dimana konsumsi gas saat ini yang sekitar 6,000 MMSCFD diperkirakan meningkat menjadi 26,112 MMSCFD di tahun 2050 atau meningkat sebesar 298% “Dengan memperhatikan pertumbuhan konsumsi tersebut dan dalam upaya memastikan kecukupan energi maka sesungguhnya potensi hulu migas Indonesia masih cukup besar,” kata Dwi.

Indonesia saat ini memiliki 128 cekungan migas, dan baru 20 cekungan di antaranya yang sudah berproduksi. Sisanya, 27 cekungan sudah ada temuan namun belum berproduksi, dan masih terdapat 68 cekungan yang belum dibuktikan keberadaan hidrokarbonnya.

Dwi mengatakan perlu disadari bahwa industri migas adalah industri yang cukup menantang dengan adanya kebutuhan akan teknologi yang tinggi, risiko tinggi; dan investasi yang besar dengan adanya persaingan antar negara untuk mendapatkan investasi tersebut. ”Terlebih, tantangan untuk mendapatkan migas juga semakin besar. Era easy oil sudah lewat. Saat ini, cadangan migas harus kita cari pada lokasi-lokasi yang sulit,” kata dia.

Menurut Dwi, dengan memperhatikan tantangan dan dinamisnya perubahan yang terjadi pada industri ini maka kemampuan SDM tentunya menjadi persyaratan mutlak. “Tidak hanya dalam kemahiran teknologi, namun juga kemampuan inovasi dan berpikir out of the box untuk melakukan kegiatan secara massif, agresif dan efisien,” katanya.

Sementara itu, Ego Syahrial, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan dukungan dan peran serta SDM yang tangguh juga diperlukan dalam rangka implementasi transisi energi di Indonesia. Transisi energi menuju energi yang lebih bersih merupakan sebuah keniscayaan, tidak hanya di Indonesia, namun juga secara global.

“Kementerian ESDM berkomitmen akan terus berusaha untuk mencapai Net Zero Emission pada  2060, dan bisa lebih cepat jika mendapat dukungan penuh dari internasional,” kata Ego, yang memberikan sambutan mewakili Menteri ESDM Arifin Tasrif secara virtual.

Menurut Ego, transisi energi menuju energi yang lebih bersih ini merupakan kontribusi untuk menuju negara yang menerapkan green economy, green technology, dan green product. Di sinilah, kata dia, SDM yang tangguh dapat mengambil peran penting dan strategis sebagai inovator dan menguasai dalam mewujudkan Net Zero Emission. “Serta dapat memberikan multiplier effect dalam pembangunan nasional, khususnya dalam mendorong pengembangan industri di dalam negeri,” kata dia.(AT)