JAKARTA – Pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) jadi keharusan yang harus disediakan jika net zero emission mau benar-benar diwujudkan.

Institute of Essential Services Reform (IESR) menilai transformasi sektor kelistrikan yang rendah karbon menjadi kunci utama bagi Indonesia untuk bisa segera mencapai target tersebut.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR,  mengatakan kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan harus digenjot menjadi 140 gigawatt (GW) pada 2030.

Secara teknis dan ekonomis, Indonesia berpeluang untuk mencapai net-zero emission pada 2050, lebih cepat dari rencana pemerintah pada 2060. Namun, untuk itu, sektor kelistrikan harus sudah mencapai titik emisi karbon yang tetap sebelum 2030.

“Artinya, dalam satu dekade ke depan, kita harus naikkan penetrasi energi terbarukan sebesar mungkin. Dari hasil penelitian kami, kita harus bangun energi terbarukan 140 GW,” kata Fabby dalam diskusi virtual Dekarbonisasi Sektor Ketenagalistrikan Menuju Emisi Nol, Kamis (15/7).

Selain itu, pembangunan PLTU baru harus dihentikan, kecuali proyek 11 GW yang sudah dalam rencana, termasuk PLTU yang masih dalam perencanaan dan belum mulai konstruksi pada Program 35 Ribu MW, sebaiknya tidak dilanjutkan.

“Ketiga, percepat phase out PLTU sebelum 2030. Rencana penghentian PLTU 1,1 GW pada 2025 dan 9 GW pada 2035 menurut kami agak tidak compatible kalau mau capai net-zero emission. Harus dipercepat dan lebih banyak sebelum 2030,” ujar Fabby.

Menurut Fabby, tindakan mempensiunkan PLTU ini penting bukan hanya bagi lingkungan tapi juga bagi keuangan negara. Berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA), tambahnya, seluruh PLTU subcritical harus berhenti operasi pada 2030 karena PLTU jenis ini ke depannya tidak akan ekonomis dan bisa berdampak pada kenaikan produksi biaya produksi listrik.

“Terkait draft RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) 2021-2030, menurut kami tidak terlalu green karena masih banyak komponen fosil. Ini kurang ambisiun untuk capai net-zero emission di 2050 dan peak emisi listrik sebelum 2030,” kata Fabby.(RI)