JAKARTA – PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), anak usaha Banpu Plc, perusahaan energi terintegrasi asal Thailand akan menjalankan bisnis energi baru terbarukan mulai 2019. Selain pembangkit listrik tenaga air (PLTA), perseroan juga akan mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)

Yulius Gozali, Direktur Indo Tambangraya, mengatakan ada sejumlah proyek EBT yang akan dijalankan perseroan dengan kapasitas 100 megawatt (MW)-200 MW.

“Sekarang baru studi (feasibility study/FS), biasanya butuh waktu enam bulan. Tahun depan lah,” ujar Yulius di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Yulius, ekspansi Indo Tambangraya ke EBT sejalan dengan kemampuan yang dimiliki induk usahanya, Banpu Plc. Apalagi perseroan juga telah memiliki anak usaha, PT ITM Banpu Power (IBP) yang sahamnya 70% dikuasai Indo Tambangraya dan 30% Banpu Plc.

Saat ini studi yang dilakukan mencakup ketersediaan tempat, sumber air, dan kebutuhan pengembangan dam atau bendungan. Adapun, proyek PLTS membutuhkan ketersediaan lahan yang cukup besar.

Untuk lokasi proyek yang diincar, biasanya ketersediaan matahari sebagai energi utama PLTS berada di Indonesia Timur. Adapun, sumber air banyak di Kalimantan karena memiliki sejumlah sungai besar.

“Kami belum bisa memberi tahu lokasi  nantinya, karena masih studi,” kata dia.

Yulius mengatakan, investasi 1 MW PLTA dan PLTS berkisar US$3 juta. Investasi untuk pengembangan EBT  diluar anggaran belanja modal (capital expenditure/capex) 2018 sebesar US$107,1 juta. Anggaran capex 2018 yang berasal dari kas internal tersebut paling besar untuk anak usaha di bidang kontraktor pertambangan, yakni PT Tambang Raya Usaha Tama  sebesar US$40 juta.

Selain renewable energy, IBP juga mengikuti dua tender proyek PLTU dengan PLN. Kapasitas masing-masing proyek ialah 2×100 MW.

Menurut Yulius, investasi proyek PLTU bergantung kepada teknologi yang dipakai. Teknologi China biasanya membutuhkan dana US$1 juta per MW, sedangkan teknologi Jepang sekitar US$2 juta per MW.

“Biasanya teknologi Jepang lebih bagus, dan membutuhkan perawatan lebih sedikit dibanding China. Tapi kami tidak akan ngotot ekspansi di PLTU,” kata dia.

Kinerja Keuangan

Indo Tambangraya tercatat membukukan laba bersih US$58 juta, naik 2% dibanding periode yang sama 2017 sebesar US$ 57 juta. Kenaikan laba bersih didorong kenaikan pendapatan sebesar US$ 379 juta, naik 3% dari US$368 juta pada periode yang sama tahun lalu.

Rata-rata harga jual batu bara pada periode Januari-Maret 2018 US$83,6 per ton, naik 24% dari US$67,5 per ton pada periode yang sama tahun lalu.

Kenaikan rata-rata harga batu bara global disebabkan oleh permintaan yang meningkat, terutama di China karena pasokan dalam negeri yang terbatas berlanjut hingga awal 2018.

Namun volume produksi batu bara Indo Tambangraya pada tiga bulan pertama 2018 turun menjadi 4,4 Juta ton di andung periode yang sama 2017 sebesar 5,4 juta ton.

“Penurunan produksi karena kami lagi first stripping, jadi hanya ambil bagian tanahnya. Kami akan kejar target di kuartal II hingga IV,” kata Yulius.(AT)