JAKARTA – PT Bukit Asam Tbk (PTBA) membukukan pendapatan sebesar Rp16,3 triliun hingga kuartal III 2019, naik tipis dibanding periode yang sama tahun lalu Rp16,03 triliun. Pendapatan Bukit Asam terdiri dari pendapatan penjualan batu bara domestik sebesar 56%, penjualan batu bara ekspor sebesar 42% dan aktivitas lainnya sebesar 2% yang terdiri dari penjualan listrik, briket, minyak sawit mentah, jasa kesehatan rumah sakit dan jasa sewa.

“Pendapatan dipengaruhi oleh harga jual rata-rata batu bara yang turun sebesar 7,8% menjadi Rp775.675/ton dari Rp841.655/ton di periode tahun sebelumnya,” ujar Arviyan Arifin, Direktur Utama PTBA dalam paparan publik di Jakarta, Senin (28/10).

Penurunan harga jual rata-rata batu bara disebabkan oleh pelemahan harga batu bara indeks Newcastle (GAR 6322 kkal/kg) sebesar 25% menjadi rata-rata sampai dengan September 2019 sebesar US$ 81,3 per ton dari US$ 108,3 per ton pada periode yang sama tahun lalu, demikian juga indeks harga batu bara thermal Indonesia (Indonesian Coal Index/ICI) GAR 5000 yang melemah sebesar 21% menjadi rata-rata sampai dengan September 2019 sebesar US$ 50,8 per ton dari US$ 64,5 per ton pada periode yang sama tahun lalu.

Volume penjualan batu bara Bukit Asam tercatat naik 10,7% pada sembilan bulan 2019 menjadi 20,6 juta ton. Kenaikan penjualan ini ditopang kenaikan produksi batu bara menjadi 21,6 juta ton, naik 9,6% dibanding periode yang sama 2018.

“Kapasitas angkutan batu bara juga naik menjadi 17,8 juta ton atau naik 4,7% dari periode sama tahun lalu,” kata Arviyan.

Arviyan mengatakan kenaikan penjualan batu bara dipacu dari strategi penjualan ekspor batu bara ke beberapa negara seperti India, Hong Kong, Filipina dan sejumlah negara Asia lain. Serta pasar ekspor baru seperti ke Jepang dan Korea Selatan. Bukit Asam juga menerapkan penjualan ekspor batu bara medium to high calorie ke pasar premium.

Beban pokok penjualan Bukit Asam hingga September 2019 ini tercatat sebesar Rp10,5 triliun atau naik 13% dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp9,4 triliun. Komposisi dan kenaikan terbesar terjadi pada biaya angkutan kereta api seiring dengan peningkatan volume angkutan batu bara dan kenaikan biaya jasa penambangan seiring dengan peningkatan produksi dan peningkatan rata-rata stripping ratio hingga September 2019 sebesar 4.6 bcm/ton dari 4.1 bcm/ton pada periode yang sama tahun lalu.

Kenaikan stripping ratio ini disebabkan produksi batu bara kalori tinggi ( > 6100 kkal/kg GAR) sebanyak 1,9 juta ton sampai dengan September 2019.

Di tengah kondisi penurunan harga batu bara dunia, Bukit Asam masih membukukan laba bersih sebesar Rp3,1 triliun, turun 21% dibanding periode Januari-September 2018 sebesar Rp3,9 triliun.

Selain itu, EBITDA tercatat sebesar Rp5 triliun. Total aset perseroan per 30 September 2019 mencapai 25,2 triliun dengan komposisi terbesar pada aset tetap sebesar 28% dan kas setara kas sebesar 17%. Kas dan setara kas (di luar deposito dengan jangka waktu diatas 3 bulan) yang dimiliki perseroan saat ini sebesar Rp 4,2 triliun, turun 33% per 31 Desember 2018 sebesar Rp 6,30 triliun. Apabila termasuk deposito di atas 3 bulan, maka total kas perseroan adalah sebesar Rp 7,1 triliun naik 13% dari periode sama tahun 2018.

“Perolehan laba bersih ini tidak lain hasil dari strategi dan upaya efisiensi yang dilakukan perseroan,” tandas Arviyan.(RA)