JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan pemasangan smart meter pada satu juta pelanggan listrik hingga 2022 sebagai pengganti meter listrik konvensional. Pemasangan tersebut merupakan bagian dari pembangunan jaringan tenaga listrik smart grid guna meningkatkan pengawasan, mutu, dan keandalan sistem kelistrikan.

Wanhar, Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, mengatakan smart grid diyakini mampu membuat sistem tenaga listrik secara optimal dan efisien dengan memanfaatkan interaksi dua arah baik antara produsen listrik dengan konsumen.

“Ruang lingkup smart grid luas sekali. Mulai dari pembangkit dan automasi sistem transmisi, integrasi pembangkit terbarukan dan automasi sistem distribusi, hingga pemanfaatan dan pembangkitan mandiri,” ujar Wanhar, Kamis (11/2).

Menurut Wanhar, keberadaan smart grid, mampu membuat konsumen menjadi produsen (prosumer). Misalnya, pelanggan yang memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di rumah dapat mengirim tenaga listrik ke sistem PT PLN (Persero) dan tetap bisa memakai listrik dari PLN.

Implementasi smart grid sendiri sudah dirintis oleh BPPT sejak tahun 2013 di Sumba, Nusa Tenggara Timur dengan skala kecil (Smart Micro Grid). Pembangunan tersebut merupakan hasil integrasi antara Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), PLTS dan baterai, serta Jaringan Tegangan Menengah (JTM) 20 kV.

“Sistem tenaga listrik di Sumba beroperasi secara otomatis sesuai program algoritma untuk menyuplai beban. Beban dasarnya 1.200 kW dengan beban puncak 2.100 kW,” ungkap Wanhar.

Untuk komunikasi sistem dilakukan melalui Power Line Communication (PLC). Adapun automasi kontrol dan monitoring melalui Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) master station. Untuk kestabilan variable renewable energy (VRE) yang sifatnya intermittent pada jaringan tersebut dibantu dengan dengan baterai (battery storage).

Menurut Wanhar, di Sumba, beban puncak dan beban dasar jaraknya sangat jauh. Ini mencerminkan bahwa bebannya masih didominasi oleh rumah tangga. PLTS digunakan siang hari sekitar lima jam yang digunakan untuk mengecas baterai 500 kWh.

“Ketika beban puncak pada malam hari, baterai digunakan untuk menyuplai jaringan di Sumba. Ini mengurangi beban PLTD atau pun PLMTH. Ketika PLTS hilang dari sistem karena hujan atau mendung, bisa dengan cepat digantikan dengan PLTD yang dayanya cukup besar,” kata Wanhar.

Selain di Sumba, smart grid juga diterapkan untuk demo plant di Baron Techno Park, Gunung Kidul, Yogyakarta serta Floating PV (PLTS Terapung)-Battery PLTA Cirata.

Sugeng Prahoro, Koordinator Perlindungan Konsumen Ketenagalistrikan, mengatakan penggunaan Smart Grid juga dapat meningkatkan mutu dan keandalan tenaga listrik. Perkiraan biaya investasi untuk menggatikan meter pascabayar senilai Rp10 triliun dalam 15 tahun.

“Pemasangan smart meter diutamakan untuk konsumen potensial dan wilayah yang layak dalam pembangunan infrastruktur AMI (Advanced Metering Infrastructure-red.). Pada 2022, diproyeksikan telah terpasang meter AMI sebanyak satu juta konsumen,” kata Sugeng.(RI)