BENGKALIS – Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dinilai belum kondusif hingga saat ini. Kendala pengembangan EBT tidak hanya soal harga namun juga pendanaan.

“EBT kalau dilihat secara keseluruhan belum kondusif ya, karena harganya keekonomian belum masuk,” kata Abadi Purnomo, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) disela peresmian Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) di  Bengkalis, Riau, Rabu (6/2).

Menurut Abadi, aturan yang dikeluarkan pemerintah pada dasarnya sudah mendukung untuk pengembangan EBT. Namun sampai saat ini pemerintah masih dihadapkan pada permasalahan daya beli masyarakat.

Dia menambahkan, apapun regulasinya tergantung offtaker. Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Kebijakan Energi Nasional (KEN), sudah mengarah pada pengembangan EBT.

“Kalau berbicara EBT, sistemnya menunjang tidak? Yang jadi permasalahan kan daya beli masyarakat tidak ada. Seberapa jauh masyarakat bisa mengaccept dalam hal ini pricing policy-nya,” ungkapnya.

Saat ini, kata Abadi, kemampuan masyarakat masih Rp 1.500 per 1 Kwh. Pertanyaannya, apakah dengan masuk EBT masih tetap bisa Rp 1.500? Jika tidak bisa, maka subsidi bertambah.

Sekarang kalau ada kenaikan tarif listrik pasti mempengaruhi inflasi, tapi kalau tidak dinaikkan listriknya, PLN suffering,” ungkapnya.

Abadi menambahkan, pengembangan EBT tidak bisa secepat energi batu bara yang saat ini masih menjadi andalan untuk pembangunan pembangkit listrik. Untuk itu penyelesaian Rancangan Undang – Undang (RUU) EBT diharapkan bisa mendorong pengembangan.

Apakah 2025 bisa tercapai bauran EBT 23 %? Ini pertanyaan besar. Sekarang yang menjadi permasalahan utama pengembangan EBT adalah dukungan pendanaan. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM masih berusaha mencari terobosan untuk dana-dana yang bisa digunakan untuk EBT.

“Kalau pendanaan dari lokal kan tidak akan terkejar, karena bunganya tinggi.  Kalau RUU sudah selesai, sudah matang, maka EBT akan lebih leading lagi,” kata Abadi.(RA)