JAKARTA – Dampak penetapan harga gas industri sebesar US$6 per Million Metric British Thermal Units (MMBTU) dalam meningkatkan daya saing indutri sehingga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi masih dipertanyakan. Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 menetapkan harga gas industri sebesar US$ 6 per MMBTU. Namun, hingga kini hanya sebagian industri yang merasakan harga gas sebesar itu.

“Butuh kajian mendalam, perhitungan cermat dan simulasi untuk menjawab pertanyaan apakah penetapan harga gas benar-benar akan meningkatkan daya saing industri,” kata Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada,, Jumat (14/2).

Fahmy mengatakan data menunjukkan total volume konsumsi gas pada Desember 2019 sebesar 827,4 MMBTU.  Dari total volume konsumsi gas pada konsumen industri sebesar 445,80 MMBTU atau sekitar 53,89%, dengan konsumen terbesar industri kimia sebesar 120,20 MMBTU atau sekitar 14,53% dengan jumlah konsumen sebanyak 322 pelanggan. Dan volume konsumsi gas pada konsumen non-industri sebesar 381 MMBTU atau sekitar 46,11%, dengan jumlah pelanggan terbesar PT PLN (Persero) sebesar 340,6 MMBTU atau sekitar 41,05%.

Menurut Fahmy, dari gambaran awal tersebut utamanya terkait besaran volume konsumsi gas industri, penetapan harga gas industri sebesar US$ 6 per MMBTU sesungguhnya belum menjamin akan meningkatkan daya saing industri. Pasalnya, volume konsumsi per konsumen pada industri, utamanya konsumen industri Kimia, relatif masih kecil.

“Kalau benar bahwa penetapan harga gas industri sebesar US$ 6 MMbtu tidak menaikkan daya saing industri, kebijakan harga gas itu justru hanya membebani bagi pemerintah dan industri gas, baik di hulu, maupun di midterm. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang melalui kajian mendalam, perhitungan cermat dan simulasi sebelum memutuskan kebijakan harga gas industri,” tandas Fahmy.(RA)