JAKARTA – Pelaku usaha batu bara yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) menilai melonjaknya harga batu bara sampai menyentuh rekor tertinggi sekarang ini bersifat sementara.

Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif APBI, mengungkapkan kenaikan harga akibat adanya perang yang terjadi daratan eropa antara Rusia dan Ukraina.

“Tentu positif(kenaikan harga), tapi ini ya sementara aja karena ada konflik,” kata Hendra kepada Dunia Energi, Kamis (3/3).

Batu bara dunia terus melesat pada perdagangan Kamis (3/3/2022) siang. Berdasarkan data di pasar ICE Newcastle hingga pukul 13:46 WIB, harga batu bara kontrak April 2022 mencapai US$446 per ton atau naik 46,01% dari sesi sebelumnya di US$305,45 per ton.

Harga batu bara kontrak Mei 2022 meroket 48,53% di US$429,85 per ton dari sesi kemarin di harga US$289,40 per ton. Sementara harga batu bara kontrak Juni 2022 terbang 50,41% di US$414,15 per ton.

Melonjaknya harga batu bara di pasaran internasional memberikan kekhawatiran berbagai pihak akan pasokan untuk dalam negeri. Seperti diketahui awal tahun ini pemerintah sampai harus melarang ekspor batu bara akibat pembangkit listrik tanah air yang dikelola PLN tidak mendapatkan pasokan sehingga 10 juta pelanggan listrik PLN terancam alami pemadaman listrik.

Menurut Hendra produsen tambang yang tergabung dalam APBI tetap berkomitmen untuk melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan perjanjian atau kontrak dengan PLN.

“Kalau komitmen anggota APBI ya tetap untuk melaksanakan kontrak pasokan ke PLN,” tegas Hendra.

Namun menurut dia produsen tambang jumlahnya sangat banyak di tanah air selain dari anggota APBI. Hendra menilai semua produsen sudah sepatutnya taat terhadap regulasi yang ditetapkan pemerintah terkait kewajiban Domestic Market Obligation (DMO).

“Cuma kan di industri pertambangan ada lebih dari seribu perusahaan yang juga semuanya wajib untuk melaksanakan DMO,” ujar Hendra. (RI)