JAKARTA – Pengembangan green hydrogen atau hidrogen hijau memegang peranan strategis dalam mengejar target dekarbonisasi. Indonesia saat ini baru mulai mengkaji pengembangan salah bentuk energy carrier ini, yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, green hydrogen merupakan salah satu potensi bentuk energi (energy carrier) yang strategis ke depan dalam rangka mencapai dekarbonisasi dan net-zero emission (NZE). Pengembangan hidrogen hijau sama strategisnya dengan baterai.

“Namun, pengembangan hidrogen harus secara terintegrasi dari sisi produksi sampai ke pemanfaatannya,” kata Dadan, Kamis (8/7).

Menurut Dadan, pemanfaatan hidrogen sebagai energi tidak bisa dengan alat konversi energi biasa yang sudah ada di pasar. Pemanfaatan hidrogen membutuhan teknologi khusus, yakni fuel cell yang merupakan perangkat yang mengubah energi kimia secara langsung menjadi energi listrik.

“Atau dikonversikan menjadi bahan, misalkan menjadi amonia sehingga bisa dimanfaatkan untuk cofiring di PLTU,” ujar Dadan.

Dia menuturkan Indonesia belum memasuki tahap pengembangan green hydrogen. Namun, kajian pengembangannya sudah dimulai. “Belum ada pengembangannya, ini masih menjadi inisiatif ke depan. Ada rencana Pertamina akan buat pilot project dengan memanfaatkan PLTP,” kata Dadan.

Hamzah Hilal, Analis Smart Grid dan Sistem Ketenagalistikan BPPT mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan Jepang untuk melihat potensi pengembangan green hydrogen di pulau-pulau di Indonesia secara komersil. Langkah ini guna melihat keekonomian pengembangan energy carrier ini. Salah satu pulau yang terpilih menjadi lokasi komersialisasi pengembangan energi bersih ini adalah Pulau Karimunjawa.

“Di situ (Pulau Karimunjawa) ada size khusus dimana hidrogen yang diperoleh akan dikirim ke pulau sampingnya untuk membangkitkan listrik. Jadi harus ada kombinasi listrik dengan hidrogen,” kata dia.

Hamzah menambahkan, penggunaan hidrogen untuk penyimpanan energi listrik juga jauh lebih murah dibandingkan penggunaan baterai. Hanya saja kapasitasnya harus besar. “Di atas 50 megawatt (MW) dia bisa lebih murah dan bisa disimpan dan jangka panjang. Kalau baterai itu sekali diisi harus digunakan,” kata dia.

Sentot Yulianugroho, Manager Government and Public Relation PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) pernah mengatakan, perusahaan sedang mengkaji pengembangan green hydrogen hijau. Kajian awal ini akan dilakukan Blok Ulubelu, Lampung. Rencananya, PGE akan mengembangan hidrogen sebesar 100 kilogram per hari di Ulubelu

Pada saat yang sama, pihaknya juga akan menggarap peluang pasar green hydrogen. Salah satunya, dengan difasilitasi PT Pertamina Power Indonesia (PPI) sebagai induk usaha, pihaknya sedang menjajaki penyaluran hidrogen untuk kebutuhan kilang bahan bakar minyak (BBM) yang dikelola Pertamina Group. PGE juga menilik pasar ekspor green hydrogen, salah satunya di Singapura.(RI)