JAKARTA – Pemerintah segera mengkaji pemberlakuan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Beleid tersebut dinilai sebagai salah satu penghambat investasi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang kerap disuarakan pengembang pembangkit berkapasitas mini.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan pemerintah mengakui dengan adanya kondisi realisasi investasi dan berbagai masukan kepada pemerintah maka ada sesuatu yang harus diubah. Pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk merubah Permen 50/2017.

“Permen 50/2017 menjadi salah satu faktor akan segera revisi,” kata Rida di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Rida, adanya peningkatan investasi EBT berarti ada peningkatan dalam energi mix di bauran energi nasional yang terakhir kali tercatat pada 2017 lalu posisinya adalah 12,7%. Realisasi itu pun kemungkinan akan berkurang seiring dengan bertambahnya pembangkit dari energi lain, baik pembangkit gas maupun batu bara.

Selama ini ada tiga poin utama dalam Permen 50 yang diminta pelaku usaha untuk direvisi, yakni skema bangun, miliki, operasikan, dan transfer ke negara (build, own, operate, and transfer/BOOT). Dalam skema tersebut, aset pengembang selama 20 tahun-30 tahun akan diserahkan kepada PT PLN (Persero). Skema pemilihan langsung oleh PLN dan permintaan penggunaan kembali skema feed in tariff.

Ketiga poin tersebut diklaim krusial yang berhubungan langsung dengan kesediaan perbankan untuk memberikan pinjaman proyek.

Riza Husni, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), berharap kebijakan energi terbarukan tidak terkontaminasi kepentingan politik tertentu. “Mudah-mudahan ini beneran (terealisasi). Bukan sekadar beli waktu menghambat EBT untuk alasan politis tertentu,” kata Riza saat dikonfirmasi, Senin (29/10).

Salah satu andalan pemerintah untuk meningkatkan porsi EBT dalam energi mix adalah perluasan mandatory biodiesel 20% atau B20. Namun sayang sampai sekarang pelaksanaannya tidak optimal lantaran permasalahan distribusi logistik.

“Jika sudah optimal maka ditargetkan dari B20 bisa langsung ditingkatkan menjadi B30. Di-upgrade pada 2020 menjadi B30,” tukas Rida.

Jalan lain untuk meningkatkan EBT adalah percepatan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap yang sekarang regulasinya masih difinalisasi.

Berdasarkan target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) bauran EBT dipatok sebesar 23% pada 2025. Namun dengan kondisi yang ada sekarang serta rencana penyediaan listrik yang disusun dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dengan minimnya pembangkit EBT maka diproyeksikan pada 2025 hanya akan sampai 15%-17%.

Porsi EBT sebenarnya masih bisa digenjot dengan penggunaan bioenergi jenis bioethanol. Hanya saja kendala masih ditemukan saat implementasi. “Harapan paling besar itu di bioethanol. Cita-cita kami itu bioethanol. Mekanisme lagi didiskusikan antar kementerian. Lintas kementerian, tanah, siapa yang olah, off taker siapa. Masalah harga terlibat, insentif atau tidak,” tandas Rida.(RI)