Pembangkit listrik dari energi baru terbarukan hingga kini masih belum dioptimalkan karena tidak mendapat dukungan regulasi yang memadai.

JAKARTA – Realisasi pencapaian Energi Baru Terbarukan (EBT) sampai saat ini dinilai masih jauh dari harapan. Hal ini tidak lepas dari berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak konsisten dan cenderung meningkatkan risiko usaha para pengembang listrik EBT yang sebenarnya merupakan garda terdepan dalam penambahan kapasitas pembangkit EBT.

Salah satu pihak yang paling merasakan kondisi perkembangan EBT saat ini adalah para pengembang listrik EBT untuk kapasitas mini sampai sedang atau kurang dari 10 megawatt (MW).

Riza Husni, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), mengatakan sebenarnya yang dibutuhkan pengusaha bukanlah insentif khusus masalah harga. “Yang terpenting tidak dibuat aturan mempersulit seperti dua tahun terakhir ini,” kata Riza kepada Dunia Energi, Senin (4/2).

Rilis rekomendasi Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) menyebutkan sepanjang 2015-2018 kapasitas pembangkit energi baru terbarukan tumbuh rata-rata dibawah 250 MW per tahun lebih rendah dari pada periode 2010-2014. Ini tentu membuat target pemerintah menjadi lebih berat untuk mengejar bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025.

Dalam laporannya, EBT untuk listrik dan non listrik sampai akhir 2018 baru mencapai 8%. Ini tentu jauh dibawah target yang telah ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dimana sepanjang 2015-2019 seharusnya bauran EBT sudah mencapai 16%.

Siggih Widagdo, Ketua Umum IMEF, mengatakan pembangunan pembangkit EBT oleh swasta sangat bergantung pada kesediaan dan kemauan (willingness) PT PLN (Persero) sebagai pemegang wilayah usaha dan pemilik jaringan listrik. Kebijakan dan regulasi energi terbarukan dalam dua tahun terakhir sangat bias mempertahankan status quo PLN.

“Mereka gagal meningkatkan pertumbuhan pembangunan energi terberukan,” kata Singgih, belum lama ini.

Aturan pemerintah terkait EBT yang paling banyak disorot tentu saja terkait tarif yang sekarang menggunakan skema penetapan berdasarkan Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN dan skema Build Own Operate Trasfer (BOOT) yang mengharuskan pengembang menyerahkan seluruh aset kepada negara setelah selesai kontrak perjanjian jual beli listrik dengan PLN yang diatur dalam Permen ESDM No 50/2017, belum lagi dengan perubahan term and condition PPA antara pengembang dan PT PLN sebagai single buyer telah meningkatkan risiko investasi di sisi pengembang. Padahal dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi disebutkan bahwa harga energi ditetapkan berdasarkan nilai berkeadilan.

PLN pun dinilai tidak sepenuhnya menerapkan ketentuan pemerintah dalam pelelangan dan kontrak energi terbarukan. Sebagai contoh dalam lelang salah satu wilayah kerja pimpinan PLN setempat menyatakan tarif energi terbarukan dalam rupiah. Hal ini bertentangan dengan ketentuan di pasal 17 Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2017 yang membolehkan pengembang menggunakan tarif dalam mata uang dolar Amerika Serikat disamping rupiah.

Selain itu, ketersediaan pendanaan untuk proyek EBT skala kecil dan menengah juga sangat terbatas. Ini disebabkan oleh banyaknya institusi keuangan yang menyatakan proyek EBT tidak bankable karena rendahnya tarif, kualitas regulasi dan proses bisnis EBT yang kurang transparan.

Kementerian ESDM juga belum berkenan memberikan insentif dan subsidi untuk pengembangan EBT. Pelaksanaan insentif fiskal yang dikeluarkan Kementerian Keuangan (PMK No 21/PMK.011/2010) tidak efektif dan tidak sesuai dengan kebutuhan teknologi energi terbarukan yang ada saat ini berkembang di Indonesia.

“Dukungan dalam bentuk insentif fiskal dan finansial secara selektif sangat diperlukan saat ini untuk memperluas pasar dan meningkatkan keekonomian energi terbarukan sehingga dapat bersaing dengan energi konvesnional di masa depan,” kata Singgih.

Energi terbarukan sepertinya sangat sulit berkembang dengan kondisi para pemangku kepentingan yang juga tidak melirik energi masa depan ini sebagai prioritas. Ini bisa dilihat dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan di Komisi VII DPR yang sepi peminat. Anggota dewan yang hadipun bisa dihitung dengan jari, padahal jumlah keseluruhan anggota komisi yang membidangi sektor energi tersebut sekitar 50 anggota.

Riza berharap perlu ada inisiatif khusus dari pemimpin negara agar energi terbarukan tidak lagi dianaktirikan. “Mudah-mudahan Pak Presiden berubah sikap, khususnya sebelum pemilihan presiden,” tandas Riza.(RI)