JAKARTA – Pemerintah diminta mengendalikan ekspor batu bara yang terus membengkak dan tidak lagi memberikan izin penambahan produksi. Ekspor dipastikan meningkat seiring peningkatan produksi. Apalagi serapan batu bara untuk dalam negeri masih terbatas.

Budi Santoso, Direktur Eksekutif Center For Indonesia Resources Strategic Studies, mengatakan batu bara adalah sumber energi paling murah. Untuk itu, sebaiknya batu bara digunakan untuk kebutuhan dalam negeri dibanding ekspor. Kebijakan batu bara bisa berdampak langsung terhadap kondisi neraca perdagangan Indonesia. Batu bara bisa menjadi solusi bahan baku energi alternatif pengganti LPG yang hingga kini masih diimpor dalam jumlah besar.

“Energi batu bara pada saat ini adalah energi paling murah. Energi yang mahal itu minyak dan gas. Nah kita harus menyoroti pemerintah karena pemerintah dalam kondisi saat ini mempunyai dua masalah besar, yakni neraca perdagangan dan subsidi. Satu-satunya cara untuk mengurangi devisa, memang impor minyak tidak bisa tergantikan untuk transportasi. Itu enggak bisa ditekan. Tapi yang lainnya seperti rumah tangga, industri, komersil (hotel dan restauran) itu kan bisa diganti dengan batu bara pake kriket,” kata Budi dalam Diskusi “Pemanfaatan Batu Bara Sebagai Sumber Stategis Nasional” di Jakarta, Senin (12/8).

Menurut Budi, konsumsi LPG setiap tahun mencapai 6,2 juta ton dengan nilai subsidi hampir Rp75 triliun. “Kalau bisa ditekan itu bisa menekan devisa kita Rp 35 triliun. Ini bisa membantu buat kebutuhan lain,” ungkapnya.

Indonesia menjadi pengekspor batu bara terbesar di dunia, mengalahkan eksportir dari negara lain, seperti Australia dan Rusia. Pada tahun lalu saja ekspor batu bara Indonesia mencapai 442 juta ton dan hanya 115 juta ton di antaranya yang digunakan di dalam negeri.

“Saya tidak bangga Indonesia menjadi eksportir batu bara terbesar dunia. Bahkan sampai sekarang masih nomor satu di dunia. Komoditas batu bara  merupakan energi yang tidak bisa diperbaharui,” kata Viva Yoga Mauladi, Wakil Ketua Komisi IV DPR.

Dengan habisnya batu bara tentunya akan menyusahkan. Sebab, untuk mendapatkan batu bara, Indonesia akan impor dari negera lain. “Sebagian besar produksi nasional di ekspor, sekitar 85% dari produksi nasional (diekspor). Sisanya untuk pemenuhan dalam negeri,” ujar dia.

Nah, produksi batu bara dalam negeri, kata dia, digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, seperti untuk pembangkit PLN dan industri. “Karena batu bara ini merupakan energi yang tidak bisa diperbaharui, maka tidak usah ekspor. Untuk pemenuhan energi domestik,” kata Viva.(RI)