JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, masih merasa kesulitan dalam proses alih kelola dan transisi blok Rokan dari PT  Chevron Pacific Indonesia. Bahkan jajaran direksi, termasuk Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, harus mengadu kepada Komisi VII DPR yang membidangi sektor energi. Manajemen Pertamina meminta Dewan  untuk ikut mendorong agar Chevron segera membuka pintu bagi Pertamina agar bisa melakukan pengeboran lebih awal atau pada saat masa transisi sebelum kontrak Chevron berakhir di Agustus 2021.

Pimpinan komisi VII DPR seyogyanya sudah mengarahkan rapat dengar pendapat dengan Pertamina untuk fokus membahas pelaksanaan B30. Tapi, pertanyaan beberapa anggota dewan yang terus muncul akhirnya mendorong Nicke mencurahkan unek-unek tentang kesulitan perusahaan yang dipimpinnya untuk berinvestasi lebih awal di blok Rokan.

Nicke merespons setiap pertanyaan ataupun tanggapan anggota Dewan terkait alih kelola blok Rokan dengan suara yang bernada penuh harapan.

“Kami butuh dukungan Komisi VII untuk masa transisi berjalan smooth. lalu bisa masuk untuk ngebor dan menahan laju penurunan,” kata Nicke disela rapat dengar pendapat di komplek parlemen Jakarta, Rabu (29/1).

Pertamina tidak mau lagi dijadikan kambing hitam dan jatuh ke lubang yang sama dalam mengelola blok terminasi atau habis masa kontrak. Dua tahun lalu segenap unsur bangsa boleh menepuk dada berbangga hati setelah blok Mahakam dikelola oleh Pertamina. Namun apa daya, setelah dua tahun lifting migas dari blok yang sempat berjaya puluhan tahun karena menyemburkan gas terbanyak di bumi nusantara justru terus anjlok.

Nicke menjelaskan kondisi blok Mahakam disebabkan tidak adanya investasi atau kegiatan pengeboran dari kontraktor terdahulu jelang kontraknya habis. Dengan demikian, saat Pertamina mulai mengelola justru Pertamina ”ketiban sial” karena harus merasakan dampak dari ketiadaan kegiatan tersebut. Padahal investasi dan pengeboran jadi syarat mutlak yang harus dilakukan di blok yang sudah berumur tua.

“Kalau belajar dari blok Mahakam, transisi ini berjalan lebih awal lagi, karena kalau menunggu dan baru diberikan ke Pertamina tentu pasti turun produksinya. Mahakam decline rate-nya sudah 57% saat kita kelola untuk kembalikan ke 0% itu luar biasa upayanya, kita saja baru berhasil turunkan decline rate jadi 25% itu setelah dilakukan pengeboran 122 sumur,” jelas Nicke.

Nkcke tahu betul pengalaman di blok Mahakam sangat mungkin bisa terjadi pada blok Rokan jika tidak ada pengeboran di sana sebelum Pertamina resmi jadi operator.

Dia mengeluhkan bagaimana Pertamina sampai sekarang masih kesulitan berinvestasi di sana. Menurut Nicke karena secara hukum Pertamina memang baru akan melakukan pengelolaan pada agustus 2021, sehingga konsesinya masih dimiliki Rokan saat ini.

“Jadi itu pada dasarnya ini semua karena konsesi secara hukum masih dimiliki Chevron. Jadi kami belum bisa masuk,” ujar Nicke.

Selain kepada Komisi VII, Nicke juga masih berharap pada peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk ikut mendorong terbukanya pintu Chevron di masa transisi ini.

“Kami akan usahakan untuk ada masa transisi, intinya Pertamina siap untuk melakukan pengelolaan di masa transisi tapi itu harus mengikuti aturan yang berlaku dan ini sedang dibahas dengan Kementerian ESDM dan Chevron,” ujarnya.

Pertamina kata dia juga tidak perlu harus sampai harus membeli Participating Interest (PI) Chevron di blok Rokan agar bisa berinvestasi di sana. “Tidak perlu beli PI karena kan Agustus sudah di kita, itu clear,” tegasnya.

Gayung bersambut. Komisi VII DPR RI berjanji akan segera memanggil Pihak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) untuk membahas proses alih kelola blok Rokan sehingga Pertamina bisa segera berinvestasi.

Maman Abdurrahman, anggota Komisi VII DPR, secara khusus menaruh perhatian pada masalah ini. Ia menyatakan bahwa fokus pemerintah harus jelas yakni jangan sampai ada penurunan produksi di blok Rokan. Ini tentu harus diartikan dengan adanya kegiatan pengeboran di sana. Jika tidak maka dampaknya akan sangat terasa bagi lifting minyak nasional.

“Angka 190 ribu- 200 ribuan barel per hari. ini akan sangat terasa. Karena itu fokus Komisi VII dan pemerintah harus jelas dulu, yakni jangan sampai ada penurunan produksi di Rokan, mengenai mekanisme investasi pengeboran di sana harusnya bisa disepakati lah,” kata Maman.

Pertamina memang memiliki rencana untuk minimal melakukan pengeboran di Rokan paling tidak pada kuartal III 2020 . Total dana yang disiapkan untuk pengeboran sendiri diklaim cukup untuk melakukan 20 pengeboran langsung pada tahun ini.

Sementara pihak CPI sudah secara jelas dan gamblang mengatakan bahwa tidak akan ada aktivitas pengeboran yang didanai CPI. Hal itu sudah berlangsung sejak 2018 lalu. CPI hanya akan melakukan beberapa kegiatan seperti perawatan atau kerja ulang sumur. Dalam targetnya yang disampaikan kepada SKK Migas, CPI memproyeksikan lifting minyak blok Rokan tahun ini hanya sekitar 160 ribu barel per hari. Jauh dibawah realisasi tahun-tahun sebelumnya berkisar antara 190 ribu hingga 200 ribuan barel per hari. (RI)