JAKARTA – Kegagalan PT Pertamina (Persero) dalam investasi di Blok BMG dinilai sebagai salah satu risiko dari industri hulu minyak dan gas bumi (migas).

Hilmi Panigoro, Presiden Direktur PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), mengatakan apa yang terjadi dengan Blok BMG murni risiko bisnis yang umum dihadapi korporasi.

“Tidak ada korporasi yang sengaja produksi diturunkan. Jadi ini risiko bisnis,” kata Hilmi usai memberikan kesaksian dalam sidang Karen Agustiawan mantan Direktur Utama Pertamina di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/5).

Menurut Hilmi, dalam kasus dugaan korupsi yang menimpa Karen, kerugian negara yang disangkakan tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi.

Kerugian bukan hanya dari satu proyek, tapi harus dilihat di tahun itu ada berapa keberhasilan ada berapa kegagalan.

Helmi mengatakan Pertamina juga tidak menyebabkan kerugian negara, lantaran pada akhirnya meskipun investasi gagal di BMG tapi secara keseluruhan Pertamina masih mencetak keuntungan.

“Dan itu nett nya kan untung dan itulah nature bisnis migas ada dryhole ada sumur pengembangan gagal ada yang berhasil, dan yang berhasil jauh lebih banyak dan hasilnya apa, untung besar Pertamina kan,” ungkap Hilmi.

Karen ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus akuisisi 10% hak partisipasi Blok BMG di Australia pada 2009 dari Roc Oil Company Limited (ROC).

Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase – BMG Project ditandatangani pada 27 Mei 2009 dengan nilai transaksinya mencapai US$31 juta. Seiring akuisisi tersebut, Pertamina harus menanggung biaya-biaya yang timbul lainnya (cash call) dari Blok BMG sebesar US$26 juta. Melalui dana yang sudah dikeluarkan setara Rp568 miliar itu, Pertamina berharap Blok BMG bisa memproduksi minyak hingga sebanyak 812 barrel per hari (bph).

Namun ternyata Blok BMG hanya bisa menghasilkan minyak mentah untuk PHE Australia Pte Ltd rata-rata sebesar 252 barel per hari. Pada 5 November 2010, Blok BMG ditutup, setelah ROC Oil memutuskan penghentian produksi minyak mentah dengan alasan blok tidak ekonomis jika diteruskan produksi. Investasi tersebut dianggap Kejaksaan Agung telah merugikan negara.

Menurut Hilmi, dipidanakannya Karen atas keputusan investasi Pertamina di Blok BMG adalah preseden buruk. Terlebih di industri migas yang penuh akan risiko usaha.

Due dilligence dalam investasi Pertamina di sana pasti sudah dilalui termasuk mitigasi terhadap resiko usaha pasti sudah dilakukan.  Bahwa apabila produksi tidak sesuai harapan adalah bagian dari resiko bisnis migas.

“Ini berikan gelombang preseden buruk bahwa keputusan aksi korporasi bisa berakhir di ranah pidana, kecuali kalau ada fraud ya, ada conflict of interest. Tapi Selama keputusan diambil dengan intensi baik untuk kepentingan perusahaan kegagalan bisa diterima. Paling tidak industri migas lihat ini (kasus Karen) sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan,” kata Hilmi.(RI)