JAKARTA – Era energi baru yang digerakkan dekarbonisasi, desentralisasi dan digitalisasi, mengharuskan para pelaku bisnis perlu melakukan otomatisasi pengelolaan energi listrik dengan kemampuan analisa prediktif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan mengontrol biaya operasional akibat gangguan listrik yang tak terduga.

Xavier Denoly, Country President Schneider Electric Indonesia, mengatakan pelaku bisnis tentu mengharapkan distribusi listrik yang lebih aman, dapat diandalkan, efisien, berkelanjutan dan terhubung.

“Dalam bisnis seperti Rumah Sakit dan Data Center yang sangat sensitif dan bergantung terhadap keandalan listrik, memastikan tidak adanya downtime dan gangguan listrik sangatlah krusial karena berdampak langsung terhadap reputasi perusahaan, kerugian finansial, dan keamanan data. Serta kenyamanan dan kepuasaan klien/pasien,” kata Xavier di Jakarta, Kamis (8/11).

Dia menambahkan, digitalisasi dalam pengelolaan energi listrik merupakan salah satu solusi yang saat ini mulai dilirik oleh manajemen rumah sakit di Indonesia untuk mencapai tujuan tersebut.

Berdasarkan riset Frost & Sullivan, belanja perawatan kesehatan di Indonesia diprediksi mencapai US$37,7  milliar pada  2020. Bisnis di sektor rumah sakit swasta juga akan semakin menggeliat dengan semakin banyaknya pembangunan rumah sakit swasta dari 917 rumah sakit swasta di 2015 dan diprediksi meningkat menjadi 1.017 rumah sakit di 2020.

Dengan meningkatnya kompetisi di sektor rumah sakit serta ekspektasi yang semakin tinggi dari populasi kelas menengah terhadap pelayanan dan fasilitas rumah sakit, menuntut manajemen rumah sakit untuk memastikan seluruh proses dan kegiatan operasionalnya mendukung 100% kepuasaan pasien tanpa adanya kesalahan, termasuk di dalamnya adalah memastikan keandalan dan ketersediaan listrik 24 jam setiap hari tanpa terjadi gangguan yang beresiko besar terhadap kesehatan dan kepuasan pasien.

Sementara itu sektor Data Center juga memiliki prospek bisnis yang sangat besar. Data Ipsos Business consulting mencatat adanya pertumbuhan pasar data center naik dua kali lipat sejak 2015 sampai dengan 2018 yaitu dari US$ 1,1 miliar menjadi US$ 2,3 miliar di tahun 2018, dan diperkirakan akan mencapai US$ 3,2 milliar pada 2020.

Bahkan, investasi nasional di bidang data center mencapai US$ 400 juta. Pertumbuhan Data Center yang pesat dipicu oleh tiga faktor yaitu penetrasi internet yang tinggi mencapai 52% dari total populasi di Desember 2017, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82/2012 yang mewajibkan semua data yang terkait dengan Indonesia untuk dimuat di Data Center di dalam negeri, dan adanya solusi cloud computing yang memudahkan pelaku bisnis dan lebih terjangkau.

“Sebagai sektor dimana distribusi energi listrik menjadi faktor utama dalam keberlangsungan bisnis dengan tingkat konsumsi 10-100 kali lebih besar dibandingkan ruang kantor standard per meter persegi, Data Center membutuhkan perencanaan instalasi dan pengelolaan energi listrik yang terdepan dibandingkan sektor lainnya,” ujar Xavier.

Berdasarkan data Asian Development Bank yang dirilis pada April 2017, kerugian finansial dari gangguan listrik atau downtime pada sektor Data Center diperkirakan serendah-rendahnya setara dengan US$ 90.000 per jam downtime di industri media hingga setinggi-tingginya setara dengan US$ 6,48 juta di industri keuangan atau perbankan.

Downtime juga berdampak terhadap reputasi perusahaan, menurunnya kepercayaan investor dan konsumen yang akhirnya dapat menyebabkan gagalnya investasi dan pendapatan perusahaan. Dari sisi operasional, downtime dapat menyebabkan kerusakan data kritikal, risiko rusaknya peralatan serta aset lainnya dan besarnya biaya perbaikan dan pemulihan jaringan dan sistem.(RA)