JAKARTA – Pemerintah mengakui pengembangan panas bumi di tanah air masih belum optimal padahal jumlah cadangannya terbilang besar dan jadi salah satu yang terbesar di dunia. Perlu ada penggerak guna kembangkan potensi besar itu agar pemanfaatannya bisa dirasakan secara optimal.

Harris, Direktur Panas Bumi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan ada satu motor yang bisa menjadi penggerak utama pengembangan panas bumi di Indonesia yakni sepak terjang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor panas bumi. Saat ini ada tiga BUMN yang menjalankan bisnis di bisnis panas bumi yakni Pertamina Geothermal Energyu (PGE), PLN GG serta PT Geo Dipa Energi.

“Tentu keberadaan BUMN sangat kita harapkan bisa akselerasi lebih cepat pengembangan panas bumi ke depan,” kata Harris di Jakarta (2/6).

Dia menyoroti keberadaan PGE yang hingga kini jadi BUMN paling besar untuk urusan panas bumi. Menurutnya peran PGE bisa sangat krusial guna mendukung pencapaian target pemerintah.”Keberadaan BUMN ini kita lihat ke depan panas bumi memang menjadi salah satu faktor kunci penting dalam pencapaian net zero emission tentu BUMN kita harapkan bisa ambil peran besar di sana yang juga bisa menentukank target-target global,” jelas Harris.

Berdasarkan data ThinkGeoEnergy 2022, kapasitas terpasang pembangkit panas bumi di seluruh dunia mencapai 15.854 MW. Indonesia dengan kapasitas pembangkit sebesar 2.276 MW pada 2021 merupakan negara dengan kapasitas pembangkit terbesar kedua setelah Amerika Serikat sebesar 3.722 MW. Indonesia sudah melampaui Filipina sebesar 1.918 MW.

PGE saat ini mengelola 13 Wilayah Kerja Panas Bumi yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi Utara, dimana dalam wilayah kerja tersebut telah terbangkitkan listrik panas bumi sebesar 1877 MW, yang terdiri dari 672 MW yang dioperasikan sendiri (own operation) oleh PGE dan 1205 MW dikelola melalui Kontrak Operasi Bersama(Joint Operation Contract). Kapasitas terpasang panas bumi di wilayah kerja PGE berkonstribusi sebesar sekitar 82% dari total kapasitas terpasang panas bumi di Indonesia, dengan potensi pengurangan emisi CO2 sebesar sekitar 9,5 juta ton CO2 per tahun.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, saat ini Indonesia memiliki cadangan panas bumi sebesar 23,7 GW.

Sementara itu, Abadi Poernomo, Senior Advisor Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) menuturkan BUMN memang menjadi pionir utama dalam pengembangan panas bumi. Namun demikiam regulasi tetap menjadi faktor penentu. Misalnya saja dengan beberapa masalah klasik yang sering membentur panas bumi, utamanya di masalah tarif harga listrik yang dijual dari pengembang. Menurut dia hingga saat ini panas bumi masih kalah dengan PLTU batu bara lantaran masalah tarif atau harga listrik yang ditawarkan pembangkit batu bara lebih murah ketimbang panas bumi.

“Faktor utama hanya tentang tariff. Panasbumi tidak bisa compete dengan PLTU (saat harga Batu bara dibawah $100 per ton) . Pemerintah / PLN menghendaki tariff = BPP ,dimana di situ keekonomian panas bumi tidak masuk,“ ungkap Abadi.

Peluang panas bumi memang sangat terbuka untuk menjadi pembangkit based load utama, setelah pemerintah berencana mempensiunkan PLTU batu bara. Tapi lagi-lagi regulasi menjadi kunci rencana itu akan berjalan atau tidak.

“Setuju (bisa jadi momentum gantikan PLTU). sangat bergantung  pada regulasi yang akan terbit,” ujar dia.

Jika masalah itu bisa segera ada solusinya maka PGE sebagai pionir dalam pengembangan panas bumi tentu juga lebih bisa berperan maksimal. Menurut Abadi, karena PGE merupakan perusahaan panas bumi negara paling tua maka memang wajar PGE jadi pionir utama dalam pengembangan panas bumi nasional.

PGE juga terlihat paling masif dalam pengembangan panas bumi lantaran mendapatkan dukungan kuat dari Pertamina sebagai induk holding. “Neraca PGE sangat positif, dengan level akreditisasi sangat tinggi ditambah lagi dengan mother co.Pertamina, sangat mudah untuk mencari pendanaan,” ujar Abadi.