JAKARTA – Rencana PT Pertamina (Persero) menerbitkan global bond dinilai sebagai strategi tepat untuk menghadapi penurunan kinerja keuangan yang diprediksi akan tertekan pada tahun ini.

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, mengatakan meski laba diproyeksi turun signifikan pada tahun ini, global bond Pertamina masih saleable. “Portofolio keuangan dan kapitalisasi aset Pertamina masih sangat sehat,” kata Fahmy kepada Dunia Energi, Jumat (19/10).

Dana hasil penerbitan global bond salah satunya dialokasikan untuk membiayai revitalisasi kilang melalui RDMP.

Menurut Fahmy, penerbitan global bond tepat karena waktunya relatif jangka panjang, dan juga cost of capital-nya rendah dibanding sumber dana pinjaman perbankan.

Namun Pertamina diingatkan agar peruntukan dana dari global bond harus jelas dan bisa langsung dialokasikan ke berbagai keperluan. Misalnya membiayai capital expenditure (capex), terutama untuk signature bonus Blok Rokan dan revitalisasi kilang melalui Refinery Development Master Plan (RDMP).

“Keduanya, Blok Rokan dan RDMP, akan menghasilkan cash in flow saat memasuki produksi, sehingga ada jaminan untuk pembayaran kembali global bond pada saat jatuh tempo,” ungkap Fahmy.

Beberapa hal yang harus diwaspadai Pertamina adalah keputusan menerbitkan global bond harus berdasarkan governance sesuai rencana Pertamina ditetapkan agar tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Selain itu, perlu ada lindung nilai (hedging) untuk meminimalkan risiko selisih kurs global bond.

“Kalau penggunaan global bond sesuai peruntukan, untuk membiayai capex Blok Rokan dan RDMP, tidak hanya akan menghasilkan cash inflow dan perolehan laba, tetapi juga pengoperasian RDMP akan meningkatkan hasil pengolahan BBM di dalam negeri. Dengan begitu dapat mengurangi impor BBM dalam jumlah besar,” kata Fahmy.

Pahala N Mansury, Direktur Keuangan Pertamina, sebelumnya mengatakan penerbitan global bond akan diumumkan pada tahun ini, setelah rencana kerja perusahaan ditetapkan. “Kami akan umumkan segera. Kami akan lakukan tahun ini,” kata Pahala di Gedung DPR Jakarta, Rabu (17/10).

Pahala mengatakan kebutuhan belanja modal Pertamina ke depan sangat besar, bahkan bisa mencapai US$8 miliar.Fokus belanja modal perseroan adalah untuk ekspansi bisnis, progam RDMP dan pembelian lahan untuk proyek.

‎”Tidak bisa disebutkan satu persatu tapi ada RDMP, ada rencana expansi pembelian lahan, kita masih finalisasi budget kita dan sebagainya,” papar Pahala.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menilai Pertamina harus cermat untuk menerbitkan global bond. Ini berhubungan dengan kondisi makro ekonomi Indonesia yang boleh dibilang tidak benar-benar kondusif dengan adanya pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

Namun pilihan menerbitkan global bond memang masih jadi alternatif terdepan lantaran opsi pendanaan domestik juga relatif terbatas.

“Pilihan yang susah sebenarnya. Idealnya diterbitkan pada saat makro ekonomi dan rupiah sedang menguat, sehingga coupon rate tidak terlalu besar. Kalau untuk pasar luar negeri bisa saja tetap ada peminat tapi tergantung coupon rate-nya,” tandas Komaidi.(RI)