JAKARTA – PT Timah Tbk (TINS) menderita kerugian sepanjang 2019, meski pendapatan naik 75,45% menjadi Rp19,3 triliun dibanding periode yang sama 2018 sebesar Rp11,06 triliun.

Pendapatan Timah berasal dari volume penjualan sebesar 67.704 metrik ton melonjak dibanding realisasi 2018 sebesar 33.818 metrik ton.

Namun demikian lonjakan beban pokok dan beban bunga yang jauh lebih besar membuat Timah justru mencatatkan rugi bersih sebesar Rp611,28 miliar dibanding 2018 yang mencatatkan laba bersih Rp531,35 miliar.

Abdullah Umar, Sekretaris Perusahaan Timah, mengatakan tekanan di pos beban pokok pendapatan dan beban bunga menjadi salah satu sebab tergerusnya laba Timah. Upaya efisiensi yang dilakukan seiring meningkatnya produksi tidak dapat mengimbangi kecepatan penurunan harga logam timah dunia.

Beban pokok pendapatan tercatat sebesar Rp18,16 triliun atau naik 82,69% dibanding 2018 sebesar Rp9,92 triliun.

“Kewajiban perseroan tercatat sebesar Rp15,1 triliun atau meningkat 66,48% dibanding akhir 2018 sebesar Rp9,07 triliun,” kata Umar, Kamis (11/6).

Dalam upaya memperbaiki kinerja 2020, manajemen Timah melakukan sejumlah upaya berbasis efisiensi guna mendukung kinerja keuangan perseroan. Timah juga terus menjaga kesehatan posisi keuangan sekaligus mengurangi beban bunga sebagai upaya mengoptimalkan arus kas.

Selama kuartal I 2020, misalnya, perusahaan telah secara bertahap melakukan de‐leveraging dengan mengurangi posisi utang berbunga, disamping re‐profiling utang bank baik dari jenis mata uang hingga jadwal pelunasan.

Timah juga berupaya untuk mengejar efisiensi biaya di semua lini produksi untuk menekan beban produksi dan beban usaha perusahaan.

“Beban bahan baku, misalnya, telah dicapai kesepakatan dengan pihak ketiga untuk kompensasi yang lebih ekonomis, seiring juga telah dilakukan efisiensi di beberapa lini operasi dan produksi,” ujar Umar.

Untuk menjaga kesinambungan usaha dan antisipasi persaingan bisnis pertimahan di masa mendatang, Timah  tetap melakukan ekspor logam timah dan saat ini sedang menyiapkan smelter baru dengan teknologi ausmelt yang lebih efisen dari sisi biaya produksi dan proses pengolahannya.

Riza Pahlevi, Direktur Utama Timah,  mengungkapkan perang dagang antara Amerika dan China yang mewarnai hampir separuh 2019 menjadi salah satu faktor tertekannya harga timah dipasar dunia. Selama 2019, harga rata‐rata logam timah dunia yang tercatat di London Metal Exchange (LME) terkoreksi menjadi US$18.569 per MT atau sebesar 7% year on year (2018: US$20.134 pet MT). Selain perang dagang yang masih berlangsung hingga saat ini, pandemi Covid-19 sangat berpotensi mempengaruhi harga logam timah dunia.

“Oleh karena itu kami harus selektif dalam merespon dinamika pasar timah dunia. Hal ini sebagai ikhtiar untuk memperbaiki profitabilitas dan memperkuat fundamental perseroan di tengah kondisi perekonomian global yang penuh ketidakpastian saat ini,” kata Riza.

Sementara itu dari sisi kontribusi terhadap pemegang saham dan pemangku kepentingan, Timah menyetor kontribusi terhadap pemegang saham dan pemangku kepentingan berupa Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dibayarkan perseroan sebesar Rp1,20 triliun atau naik 46,43% dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp818,37 miliar. Adapun royalti tercatat sebesar Rp556,73 miliar atau naik 89,08% dari tahun sebelumya Rp294,45 miliar.(RI)