JAKARTA – Pemerintah punya alasan kuat menjadikan komoditas mineral nikel sebagai komoditas yang paling didorong untuk dikembangkan. Dengan kebutuhannya yang terus meningkat ditambah dengan stock cadangan yang diklaim masih berlimpah.
Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan dari data Badan Geologi Amerika, cadangan nikel Indonesia saat ini tercatat sebesar 43% dari total cadangan dunia. Selebihnya dikuasai negara tetangga seperti Australia, Filipina, dan sebagian Kanada.
“Nikel di dunia 43% menurut cadangan geologi Amerika itu 43% cadangan nikel di dunia itu ada di Indonesia. selebihnya ya ada tetangga kita Australia Filipina ada sedikit sebagian di Kanada,” ujar Bahlil dalam acara Human Capital Summit (HCS) 2025, Selasa (3/6).
Peningkatan nilai tambah nikel melalui hilirisasi juga dinilai telah memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan negara.
Berdasarkan catatan pemerintah, nilai ekspor produk hilirisasi nikel sepanjang 2023 telah mencapai US$ 34 miliar. Angka tersebut melonjak signifikan dari nilai ekspor pada tahun 2017, ketika Indonesia hanya mengekspor bahan mentah berupa bijih nikel.
“Kita setop bijih nikel, 2023 begitu kita setop bangun industri ekspor kita mencapai US$34 miliar dan sekarang kita negara terbesar eksportir turunan nikel,” kata Bahlil.
Namun demikian tidak sedikit dampak yang dihasilkan dari kegiatan penambangan nikel secara membabi buta. Misalnya saja yang saat ini tengah ramai diperbincangkan, karena lokasi tambang berada di Raja Ampat, wilayah yang selama ini dikenal luas menyimpan kekayaan biota laut sangat beragam dan jadi tujuan utama wisatawan baik domestik maupun manca negara.
Banyak pegiat lingkungan serta warga setempat memprotes aktivitas tambang di Pulau Gag di kabupaten Raja Ampat karena dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Komentar Terbaru