JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memanggil para produsen nikel serta para pemilik pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter sebagai tindak lanjut dari kebijakan percepatan larangan ekspor bijih nikel.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, mengatakan pemanggilan kedua pihak untuk memastikan harga nikel yang dibeli  para pengusaha smelter dalam negeri sesuai dengan aturan yang ada.

Pada aturan yang berlaku saat ini  menetapkan larangan ekspor bijih nikel kadar dibawah 1,7% pada 2022. Namun pada aturan baru nantinya, pemerintah menetapkan bahwa harga beli nikel harus sesuai dengan Harga Mineral Acuan (HMA).

“Pak menteri mengingatkan bahwa pembelian harga nikel dalam negeri harus mengacu kepada harga mineral acuan. Setiap bulan keluar,” kata Bambang di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (2/9).

Bambang mengaku belum menemukan bukti otentik yang menunjukkan bahwa harga nikel yang dibeli para pengusaha smelter dalam negeri dibawah harga pasaran termasuk harga ekspor yang selama ini sebabkan para produsen nikel lebih memilih ekspor dibanding menjual nikelnya ke dalam negeri. Fenomena itu menjadi pekerjaan selanjutnya pemerintah dalam tata kelola hilirisasi mineral tanah air yang dibenahi.

“Ini yang bilang harga terlalu rendah siapa?  Saya ketemu pengusaha smelter,  mereka bilang tidak seperti itu. Nah ini yang sedang kami bereskan juga. Kami panggil masing-masing saling ketemu,” kata Bambang.

Lebih lanjut Bambang menjelaskan pertemuan tersebut nantinya bukan ditujukan untuk menekan salah satu pihak,  melainkan untuk memastikan bisnis berjalan dengan lancar secara business to business. Pada prinsipnya pemerintah membutuhkan kedua pihak untuk mengembangkan potensi sumber daya timah tanah air. Satu sisi penambang nikel harus diperlakukan dengan baik agar bisa bertahan dan berproduksi secara berkelanjutan, serta mendapatkan untung. Sementara di sisi lain pengusaha smelter juga harus diberdayakan karena fungsinya untuk mengolah dan memurnikan dan mendapatkan keuntungan.

“B to B pak menteri berikan pedoman harus mengacu HMA. karena kalau tidak dari sisi pajak kan sesuai harga yang invoice nanti yang rugi pemerintah malah,” kata Bambang.

Dia menegaskan tidak akan ada aturan baru terkait harga jual beli nikel domestik nantinya, termasuk menepis wacana untuk menetapkan harga batas atas dan batas bawah. “Tidak ada (aturan baru) tetap gunakan seperti biasa, pakai HMA,” ujar Bambang.

Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), mengungkapkan pada praktiknya ada ketidakadilan dalam bisnis nikel di tanah air. Harga nikel akan anjlok ketika dibeli smelter domestik lantaran adanya ketidakadilan dalam proses penetapan kadar nikel.

Berdasarkan rekomendasi pemerintah dalam surat edaran Kementerian ESDM No 05.E/30/DJB/2016 tentang surveyor dalam rangka pelaksanaan kegiatan penjualan atau pengapalan mineral dan batu bara ada lima perusahaan yang berhak menentukan kadar nikel sesuai dengan surat edaran menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service dan Anindya (Citra Buana). Hasil penilaian ini akan menjadi basis bagi pembayaran royalti pelaku usaha kepada negara.

Namun pembeli dalam hal ini perusahaan smelter justru menunjuk Intertek perusahaan diluar yang telah ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukan pengujian kadar nikel.

“Yang dipakai itu surveyornya Intertek. Itu yang gunakan pembeli (nikel ore),” kata Meidy.

Hasilnya terjadi perbedaan jauh dari hasil uji kadar logam nikel antara hasil yang dilakukan oleh survey saat FOB dengan survey pada saat CIF (ketika barang sampai di konsumen) berbeda sangat jauh.

“Sewaktu FOB ya 1,7% lah hasilnya, tapi saat disurvey lagi oleh Intertek menjadi 1,3% atau 1,5%. Ini kan jauh sekali bedanya, kalau nol koma sekian masih wajar,” kata Meidy.(RI)