JAKARTA – Pelaku usaha tambang nikel yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI) menilai alasan dari rencana pemerintah untuk melakukan percepatan pelarangan ekspor bijih nikel (nikel ore) tidak masuk akal dan terlalu mengada-ada.

Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal  APNI,  mengatakan dari informasi yang diterima para pelaku usaha tambang nikel bahwa salah satu alasan utama percepatan larangan ekspor adalah adanya ketakutan pemerintah bahwa bijih nikel yang diekspor akan menyebabkan cadangan nikel Indonesia cepat habis, sehingga proses hilirisasi nikel tidak dapat dilakukan di tanah air.

Ketakutan tersebut dinilai sangat keliru karena berdasarkan data yang ada cadangan nikel saat ini masih sangat melimpah.

Meidy menjelaskan untuk Provinsi Sulawesi Tenggara potensi cadangannya diketahui mencapai 35 miliar ton, jika digabung dengan provinsi lain seperti Sulawesi Tengah bisa mencapai 60 miliar ton, untuk seluruh kadar nikel baik yang kadar rendah maupun kadar nikel tinggi.

“Pemerintah minta percepatan karena adanya ketakutan, takut kehabisan bahan baku nikel ore. Padahal, tadi itu cadangan 60 miliar. Itu tujuh turunan belum habis,” kata Meidy dalam diskusi bersama media di Kantor Pusat APNI di Jakarta, Kamis (22/8).

Jika jadi dipercepat maka dipastikan para pelaku usaha tambang yang sudah berinvestasi pada pabrik smelter gigit jari. Dalam aturan sudah ditetapkan bahwa larangan ekspor baru akan berlaku pada 2022. Sampai saat itu tiba para pelaku usaha diperbolehkan ekspor dengan catatan ada progress pembangunan smelter.

Meidy mengatakan bahwa hasil dari ekspor bijih nikel selama ini digunakan untuk berinvestasi smelter, karena itu jika larangan ekspor dipercepat maka dampaknya adalah banyak perusahaan tambang nikel berhenti membangun smelter. Pasalnya jika dijual ke dalam negeri harganya jauh lebih rendah, sehingga tidak ada keuntungan yang bisa disisihkan untuk bangun smelter.

“Harga lokal (jual ke domestik) dengan kadar nikel maksimal 1,8% yang diterima cuma Rp300 ribu atau US$24-US$25 per ton. Ekspor 1,7% itu US$34 per ton,” papar Meidy.

Berdasarkan data APNI, menurut Meidy saat ini sudah ada 51 pengajuan pembangunan pabrik smelter kepada pemerintah. “Sebanyak 15 smelter sudah sudah beroperasi sisanya progress bisa jadi bisa tidak,” tukasnya.

Komoditas nikel diproyeksi menjadi komoditas primadona di masa akan datang lantaran nikel menjadi bahan utama dalam pengembangan mobil listrik terutama sebagai bahan baku pembauatan batre lithium.

Meidy menjelaskan selling poin bijih nikel kadarnya diatas 1,6% atau 1,4% dengan perkirakaan cadangan terkira mencapai 9 miliar ton. Dari satu blok yang dimiliki PT Vale Indonesia Tbk, cadangannya bisa ratusan juta. Sisanya kebanyakan memiliki kadar rendah. Itupun masih bisa dimanfaatkan.

“Bijih nikel bisa (kadarnya) nol koma itu nikel, inilah sampah yang sumber dunia jadikan baterai. Kondisi saat ini dunia butuh sampahnya indonesia, untuk penggunaan Electric Vehicle, walaupun bukan semata-mata nikel ada campuran mineral lain. Tapi utamanya nikel,” kata Meidy.

Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman,  sebelumnya menyatakan tujuan utama pelarangan ekspor adalah untuk menggenjot hilirisasi. Menurutnya nilai nikel bisa naik berlipat-lipat setelah melalui proses pengolahan dan pemurnian.

“Tunggu saja ya kapan diumumkan. Intinya itu kita akan hilirisasi semua. Kita akan percepat,” kata Luhut.(RI)