JAKARTA – PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), perusahaan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT), berencana melakukan penawaran umum saham perdana (Initial Public Offering/IPO) sebanyak 579,900,000 saham baru pada 4-6 Juli 2022
di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Aldo Artoko, Direktur Utama ARKO,
jumlah saham perseroan yang ditawarkan itu mewakili 20% dari modal ditempatkan dan disetor ARKO setelah IPO saham. “Harga saham ARKO yang ditawarkan kepada publik berada di rentang Rp 286 sampai Rp 310 per saham,” katanya, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa(22/6).

IPO ini akan didahului dengan penawaran awal (book building) pada 20-28 Juni 2022.

“Dana segar yang berpotensi diraup ARKO antara Rp165,85 miliar sampai dengan Rp179,77 miliar,” ungkap Aldo.

ARKO akan menggunakan dana hasil IPO ini untuk dua keperluan. Pertama,
sekitar 63% digunakan untuk tambahan investasi pada anak perusahaan yang akan dimaksimalkan untuk pengembangan proyek EBT ke depannya, yaitu 54% di PT Arkora Hydro Sulawesi (AHS), 29% di PT Arkora Energi Baru dan 17% di PT Arkora Tenaga Matahari. Kedua, sekitar 37% akan digunakan untuk pelunasan kewajiban jangka pendek.

Saham ARKO akan dicatatkan di BEI pada 8 Juli 2022.
Aldo berharap, dapat menerima
pernyataan efektif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk IPO pada 30 Juni 2022.

Bertindak sebagai penjamin pelaksana emisi efek dalam IPO ARKO, yakni PT Lotus Andalan Sekuritas dan PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia.

Aldo menekankan bahwa bisnis EBT memiliki potensi besar di Indonesia, bahkan dalam teknologi yang sudah matang seperti hidro, surya dan angin. Kehadiran hydro sudah kompetitif dengan pembangkit listrik berbahan bakar batubara.
“Pemanfaatan potensi EBT masih jauh di bawah 10%,” ujarnya.

Sesuai data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas energi yang digunakan setiap tahun dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Sebagian komponen utamanya atau lebih dari 60% berasal dari PLTA. Total kapasitas terpasang pembangkit berbasis energi terbarukan pada periode 2015-2020 mengalami peningkatan sebesar 22,93%.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi elektrifikasi pembangkit
listrik tenaga surya atap di Indonesia mencapai 32,5 GW, dimana hingga Juli 2021 total kapasitas terpasang baru mencapai 35,56 MW. Artinya, baru mencapai 0,1% dari total kapasitas yang diproyeksikan.

Bermodalkan pengalaman di bidang EBT, Arkora Hydro berencana mencari peluang akusisi.
Tidak hanya itu, perseroan juga aktif mencari proyek hidro berpotensi besar di atas 25 MW.
Arkora Hydro telah menyelesaikan pembangunan proyek mini hidro Cikopo-2 dengan total biaya US$1,65 juta/MW.

“Cikopo-2 merupakan pembangkit listrik berkapasitas 7,4 MW yang dimiliki dan dioperasikan oleh Arkora Hydro,” kata Aldo.

Selain itu, pengerjaan proyek Tomasa menelan biaya investasi US$1,75 juta/MW. Biaya investasi ini di bawah rata-rata industri sebesar US$2,2 – 2,5 juta/MW. Proyek Tomasa merupakan pembangkit listrik berkapasitas 10 (2×5) MW.

“Proyek ini milik Arkora Hydro melalui anak usahanya, yaitu PT Akora Sulawesi Selatan,” kata Aldo.

Tomasa proyek memasuki tahapan commercial operations date (COD) pada bulan Maret 2020.
Adapun proyek Yaentu di Poso (Sulawesi Tengah) sedang dalam konstruksi. Proyek Yaentu dengan kapasitas 10 (2×5) MW ini dikembangkan oleh PT Arkora Hydro Sulawesi (AHS), anak perusahaan tidak langsung milik Arkora Hydro.

Aldo menjelaskan bahwa proyek Yaentu sedang dalam pengerjaan.
Hingga Maret 2022, proses pengerjaan proyek telah mencapai 50%. Proyek ini ditargetkan memasuki tahapan COD pada triwulan I 2023.

Perusahaan yang memiliki 14 anak usaha dan enam anak usaha tidak langsung ini juga sedang melakukan konstruksi PLTA WKS-2 di Lampung, Sumatera dengan kapasitas 5,4 MW. Proyek PLTA ini ditargetkan beroperasi pada triwulan IV 2024. Dalam jangka waktu empat tahun ke depan, perusahaan di bidang EBT ini berencana memiliki sekitar 125 MW dari hydropower yang beroperasi. (RA)