JAKARTA – PT Freeport Indonesia (PTFI) tidak hentinya menjadi pusat perhatian. Kali ini semua mata tertuju pada pembangunan fasilitas pengolahan bijih tembaga atau smelter Freeport yang ada di Gresik, Jawa Timur.

Freeport wajib memiliki smelter jika mau terus bisa melakukan ekspor olahan tembaga pasalnya pemerintah berjanji tidak akan lagi mengeluarkan izin ekspor ore atau bijih tembaga kepada Freeport. Namun demikian saat ini polemik terjadi lantaran ada dua dasar hukum yang mewajibkan pembagunan smelter namun memiliki batas waktu yang berbeda.

Pertama adalah UU Minerba No 3 Tahun 2020 yang mewajibkan semua perusahaan memiliki smelter sendiri paling lambat Juni 2023. Jika tidak punya smelter maka perusahaan tidak diperkenankan untuk melakukan ekspor. Saat ini perusahaan masih diberikan kesempatan ekspor bijih tembaga berjalan beriringan dengan pembangunan smelter.

Kemudian landasan hukum kedua adalah kontrak Freeport yang berbentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dalam lampiran IUPK memang ada kesepakatan antara pemerintah dan Freeport terkait masa pembangunan smelter. Hanya saja dalam lampiran IUPK ternyata pemerintah memberikan waktu hingga Desember 2023. Ini tentu bukan perbedaan waktu yang sedikit dan bakal berdampak besar bagi perusahaan.

Keputusan pemerintah saat ini masih dinanti apakah akan tunduk kepada Undang-Undang Minerba yakni Freeport harus menyelesaikan smelter pada Juni 2023 atau lebih memiliki mengukuti kesepakatan yang sudah terjalin dengan perusahaan asal Amerika Serikat tersebut dalam IUPK yakni Desember 2023.

M Idris Sihite, Plh Dirjen Mineral dan Batu bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan sampai saat ini belum ada keputusan final dari pemerintah terkait batas waktu penyelesaian smelter Freeport.

“Kalau saya dikatakan berandai andai saya orang hukum tentu yang saya pedoman aturan. Sampai saat ini posisi kita di Minerba comply dengan aturan kecuali kalau ada kebijakan baru ini sudah jadi pembicaraan dan concern pemerintah tidak juga tutup mata terutama progressnya dan spending money angka yang cukup signifikan jumlahnya triliun kita ingin harmonisasi aturan dan fakta empirik di lapangan,” kata Idris di Kementerian ESDM, Senin (30/1).

Menurut dia jika dicermati, UU Minerba yang baru diterbitkan tahun 2020 atau setelah adanya ketentuan yang tertuang dalam kontrak Freeport dalam IUPK. Tapi pemerintah kata Idris juga bakal mempertimbangkan progress pembangunan smelter juga berbagai tantangan selama pembangunan seperti adanya pandemi COVID-19.

“Coba cermati time line-nya 2018 sudah ada belum UU-nya aspek fairness juga harus kita perhatikan aspek compliance juga harus kita tegaskan dua hal ini jadi pertimbangan yang dibangun pemerintah ini levelnya UU bukan porsi kecilnya ESDM melibatkan multi-stakeholders,” ujar Idris.

Menurut dia nantinya keputusan final mengenai Freeport tidak lagi hanya Kementerian ESDM yang tetapkan tapi harus dibahas lintas Kementerian. “Kita lihat peristiwa Covid makanya pemerintah akan analisa dengan bijak ini bukan hanya porsinya kementerian ESDM, levelnya UU

“Kita lihat peristiwa covid makanya pemerintah akan analisa dengan bijak ini bukan hanya porsinya kKementerian ESDM, levelnya UU,” ujar Idris. (RI)