JAKARTA – PT Bukit Asam Tbk (PTBA), anggota holding BUMN tambang, diproyeksikan akan memproduksi batu bara dua kali lipat dibanding saat ini di sekitar 25 juta ton pada 2024. Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum yang menjadi holding BUMN tambang. mengatakan kebutuhan batu bara dalam lima tahun ke depan sangat besar.

Batu bara yang diproduksi Bukit Asam nantinya tidak hanya untuk pembangkit listrik dan juga ekspor, namun juga untuk berbagai produk turunan yang saat ini sedang disiapkan fasilitasnya.

“Contohnya batu bara, sekarang Bukit Asam produksi 25 juta ton, kami menyadari lima tahun ke depan akan meningkat signifikan. Lima tahun ke depan kami akan membangkitkan listrik yang membutuhkan 11 juta ton batu bara per tahun,” kata Budi saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Jakarta , Senin (8/7).

Beberapa produk turunan yang bisa menyerap batu bara dalam jumlah besar adalah pabrik syngas, metanol, dan DME. Dari ketiga sektor itu saja total kebutuhan batu bara mencapai 13 juta ton per tahun. DME diperkirakan membutuhkan 1,4 juta ton,

“Butuh 8,4 juta batu bara per tahun di Pranap saja. Plus Tanjung Enim (PLTU) jadi total butuh sekitar 13 juta ton. Buat listrik saja 11 juta ton,” ungkap Budi.

Dengan kebutuhan tersebut maka jumlah produksi batu bara jika dipertahankan seperti sekarang ini tidak akan mencukupi seluruh kebutuhan batu bara nasional, serta ekspor. Karena itu produksi akan terus ditingkatkan.

“Kalau kami melihat, ya 50:50 digunakan sendiri 25 juta di dalam negeri, selebihnya bisa diekspor. Perusahaan lain saja, seperti Adaro misalnya bisa 50 juta ton, ya kami mendekati lah,” kata Budi.

Menurut Budi, kedepan Bukit Asam akan diarahkan untuk mencari dan menambah cadangan batu bara dil uar negeri untuk memastikan cadangan yang dimiliki untuk bisa diolah. Untuk cadangan yang dimiliki di dalam negeri akan disimpan. “Bisa jadi kesana (akuisisi tambang di luar negeri),” tukasnya.

Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan listrik dari berbagai fasilitas pengolahan dan pemurnian sumber daya, manajemen akan membangun PLTU mulut tambang agar lebih efisien dari sisi biaya pembangunan.

“Kalori di bawah 3.000, kalau mau jual harganya enggak make sense. Mendingan dipakai di lokasi jadi listrik. Pembangkit listrik mulut tambang. Kalau dijual kan keekonomiannya tidak masuk. Ke depan akan seperti itu,” kata Budi.(RI)