Karyawan CPI saat menandatangani surat untuk Presiden SBY, mengadukan empat rekannya yang dikriminalisasi dalam kasus bioremediasi.

Karyawan CPI saat menandatangani surat untuk Presiden SBY, mengadukan empat rekannya yang dikriminalisasi dalam kasus bioremediasi.

JAKARTA –  Bergulirnya kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) telah menimbulkan keprihatinan yang amat luas. Kalangan akademisi dan wakil rakyat menilai, Indonesia membutuhkan instrumen baru penegakan hukum lingkungan, agar kriminalisasi serupa tidak terjadi lagi di kelak kemudian hari.

Dalam sebuah diskusi menyoal kepastian hukum investasi di sektor minyak dan gas bumi (migas) di Jakarta kemarin, seorang jurnalis yang menjadi peserta dalam diskusi itu menuturkan, telah berkunjung ke lokasi bioremediasi PT CPI di Riau, dan bertemu dengan keluarga kontraktor yang divonis bersalah.

Akibat kasus bioremediasi, saat ini salah satu kontraktor PT CPI yakni PT Sumigita Jaya bangkrut dan hampir 100 karyawannya di-PHK (pemutusan hubungan kerja).

Lebih parah lagi, sudah tidak ada lagi kontraktor yang mau mengerjakan proyek bioremediasi, bahkan empat kontraktor sudah mengundurkan diri dan memilih membayar penalty daripada melanjutkan pekerjaan.

Karena banyaknya tanah yang harus diolah, fasilitas bioremediasi PT CPI terus diperluas, namun tidak ada yang mau mengerjakan. Apabila dikerjakan sendiri oleh PT CPI maka tidak akan efisien dan menambah besaran cost recovery yang tentu membebani negara.

Menanggapi hal ini, pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Dian Puji Simatupang mengaku, kasus bioremediasi telah menjadi keprihatinan yang luas di kalangan ahli hukum. Agar kasus serupa yang sangat menggangu iklim investasi migas ini tidak terulang, dibutuhkan usaha yang simultan (terus-menerus) untuk mendorong kepastian hukum di sektor migas.

“Harus ada koordinasi antara KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) dan Kejaksaan terkait kasus-kasus lingkungan. Dan memang harus ada kamar sendiri atau pengadilan khusus di bawah ranah hukum administrasi yang menangani masalah lingkungan hidup, agar penegakan hukum sesuai dengan semangat Undang-Undang Lingkungan, dan bukannya malah kontraproduktif,” ujar Dian Puji.

Hal senada diungkapkan pakar lingkungan dari Lemigas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Prof M Udiharto dalam diskusi itu. Menurutnya, selama ini Direktur Jenderal Lingkungan dan KLH sudah banyak melakukan tindakan pengawasan dan bekerjasama dengan berbagai instansi. Namun pengawasan memang masih harus selalu ditingkatkan untuk menghindari ketidakpastian hukum di Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Milton Pakpahan berjanji, akan terus  memberikan dukungan moral terhadap pihak-pihak yang menjadi korban dalam kasus bioremediasi ini. Ke depan, ujarnya, audit lingkungan akan dipertajam dan Komisi VII DPR akan terus memantau perkembangan kasus bioremediasi PT CPI.

“Dengan adanya kasus ini semangat tidak boleh mati, karena hasilnya adalah demi anak cucu kita di masa depan. Komisi VII akan lanjutkan permasalahan ini di DPR dan akan mendiskusikanyan dengan bagian hukum di Komisi III DPR,” ujarnya.

Memang, kata Milton, diperlukan adanya instrumen baru dalam hukum Indonesia, khususnya yang terkait dengan penegakan hukum lingkungan, agar tidak salah kaprah seperti kasus bioremediasi. Terlebih masalah lingkungan sangat banyak dan seringkali sangat teknis, sehingga perlu keahlian, kejelian, dan ketelitian dari aparat yudikatif dalam menanganinya.

Sebelumnya, pakar lingkungan hidup Masnellyarti Hilman juga menuturkan, Indonesia butuh pengadilan khusus lingkungan, yang jaksa dan hakimnya adalah orang-oang yang telah mendapat pelatihan teknis seputar penanganan persoalan lingkungan. Mereka yang sudah mendapatkan pelatihan itulah yang nantinya fokus ditugaskan menegakkan hukum bidang lingkungan, secara profesional.

Karena menurut dia, kasus bioremediasi ini muncul, karena adanya kesenjangan pengetahuan para aparat penegak hukum, terkait hal-hal teknis penegakan hukum lingkungan. Diantaranya, proses pembuktian adanya pidana lingkungan, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, haruslah berkoordinasi dengan aparat KLH.

Namun dalam kasus bioremediasi, prosedur yang sudah diatur oleh UU itu diterabas oleh penyidik Kejagung. Bahkan pakar hukum lingkungan, Asep Warlan Yusuf sudah menjelaskan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak berwenang mengadili kasus bioremediasi. Namun keterangan itu tidak diindahkan oleh jaksa maupun hakim. 

“Kita selalu melakukan pelatihan lingkungan bagi aparat penegak hukum. Namun rotasi di kejaksaan dan kehakiman begitu cepat, sehingga yang sudah mendapat pelatihan tidak lagi bertugas mengurus persoalan lingkungan,” jelas Masnellyarti yang Juni 2013 lalu baru saja pensiun dari jabatannya sebagai Deputi IV Bidang Penanganan Limbah B3 KLH.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)

Berita terkait:

Hindari Kriminalisasi, Indonesia Butuh Pengadilan Khusus Lingkungan : https://www.dunia-energi.com/hindari-kriminalisasi-indonesia-butuh-pengadilan-khusus-lingkungan/