JAKARTA – PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menegaskan tidak akan terburu-buru melakukan divestasi saham yang wajib direalisasikan pada tahun ini. Vale akan menunggu arahan  pemerintah mengenai tahapan penawaran divestasi.

Nico Kanter, Chief Executive Officer  dan Presiden Direktur Vale Indonesia, mengatakan berbagai opsi atau pilihan skema divestasi masih terbuka lebar, termasuk melalui mekanisme penerbitan saham baru (rights issue).

Jika skema rights issue yang dipilih, maka tujuan utama harus jelas. Pasalnya, jika rights issue berarti akan ada dana yang masuk dan harus ada kegiatan atau investasi yang dilakukan  Vale.

“Rights issue itu kan fund rising. Kami  tidak bisa rights issue for the second direct investment. Kalau sampai fund rising harus ada main purposenya.  Kalau timingnya pas, saat itu butuh pendanaan dan kebetulan mekanisme pendanaanya bisa dibicarakan dengan cepat, ya bisa jadi (right issue) tapi itu bukan satu-satunya cara. Tidak mungkin fund rising, tapi uangnya menganggur,” ungkap Nico saat ditemui di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Jakarta, Kamis (7/2).

Menurut Nico, jika ingin melaksanakan divestasi secara business to business, Vale tetap akan meminta petunjuk dari pemerintah. Karena setelah mendapatkan petunjuk atau keputusan dari pemerintah baru disitu akan dilakukan valuasi saham.

Febriany Eddy, Direktur Keuangan Vale, mengatakan Vale akan konsultasi dengan Kementerian ESDM dan pemerintah supaya di kemudian hari dapat dukungan, siapapun yang ditunjuk pemerintah. “Pihaknya harus ditunjuk dulu baru valuasi. Bagaimana berangan-angan kalau pihaknya sendiri belum ditunjuk,” kata Febriany.

Market Value

Lebih lanjut Nico menjelaskan, valuasi saham menggunakan skema fair market value bila 20% saham dibeli oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara perhitungan dengan skema replacement cost digunakan bila saham divestasi dibeli oleh pemerintah.

Perhitungan market value dan replacement cost memiliki pola berbeda. Harga pasar yang wajar tidak memperhitungkan cadangan mineral atau batubara kecuali yang dapat ditambang selama jangka waktu konsesi tambang. Sementara replacement cost merupakan biaya penggantian atas kumulatif investasi yang dikeluarkan sejak tahap eksplorasi sampai dengan tahun kewajiban divestasi.

Kewajiban divestasi 40% saham itu berdasarkan kesepakatan dalam amandemem KK di 2014. Kesepakatan divestasi merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2014 sebagai perubahan ketiga PP No. 23 Tahun 2010. Disebutkan dalam beleid itu divestasi harus dilakukan paling lambat pada 14 Oktober 2019 atau 5 tahun setelah terbitnya PP 77.

Besaran divestasi 40% itu lantaran dalam PP 77 memuat tiga kategori besaran divestasi merujuk pada kegiatan pertambangan. Vale termasuk dalam kategori kedua yakni kegiatan pertambangan dan pengolahan pemurnian. Dalam amandemen KK pun disepakati Vale wajib melepas 20% saham lagi. Sementara sudah ada 20% saham Vale yang telah tercatat di bursa efek dan telah diakui sebagai saham divestasi.

Dalam PP 77 diatur mengenai penawaran divestasi dilakukan secara berjenjang mulai dari pemerintah pusat hingga badan usaha swasta nasional. Bila pemerintah pusat tidak berminat maka ditawarkan ke pemerintah daerah. Jika pemda tidak berminat maka ditawarkan ke BUMN atau BUMD. Terakhir, bila semua pihak tidak yang berminat maka ditawarkan ke badan usaha swasta nasional.

“Harus ada pihak yang ditunjuk baru valuasi,” tandas Nico.(RI)