JAKARTA – PT PLN (Persero) berencana kembali mencari pendanaan investasi dari eksternal atau utang sebesar US$1 miliar-US$2 miliar pada tahun ini. Sarwono Sudarto, Direktur Keuangan PLN, mengungkapkan uang yang didapat akan digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur kelistrikan.

PLN setiap tahun membutuhkan Rp80 triliun-Rp90 triliun untuk membiayai proyek infrastruktur kelistrikan. Tidak mungkin semua kebutuhan investasi tersebut ditanggung oleh pendanaan internal perusahaan. Kemampuan keuangan PLN untuk membiayai proyek hanya mencapai 40%, sisanya akan berasal dari utang.

“Saya katakan investasi kami setiap tahun antara Rp 80 triliun-Rp 90 triliun. Sekarang baru 40%, sisanya nanti cukup banyak utang juga. Kami nanti melihat kalau dana cukup mungkin nanti antara US$1 miliar-US$2 miliar,” kata Sarwono di Jakarta, Kamis (27/6).

Dia menjelaskan rencana utang sudah ada dalam strategi perusahaan tahun ini. PLN akan mencari pinjaman pada kuartal III-IV seiring jatuh tempo tagihan membiaya proyek infrastruktur kelistrikan.

Dana eksternal pada tahun ini akan dialokasikan juga untuk membayar beberapa investasi masa lampau yang mulai jatuh tempo. “Tahun ini kami akan menambah lagi mungkin, karena mulai bayar banyak, bayar-bayar investasi,”‎ ungkapnya.

Sumber utang PLN didapat dari berbagai instrumen, diantaranya penerbitan global bond dan pinjaman ke bank lokal atau internasional. Namun dia belum bisa menyebutkan lebih rinci, karena masih melihat kondisi pasar.

‎”Jadi plihannya selalu saya katakan tergantung dari situasi pasar. Kalau pasarnya bagus di pinjaman ya pinjaman,” kata dia.

Dalam data perusahaan utang PLN telah mencapai Rp394 triliun. Sebagian besar dana tersebut memang digunakan untuk kebutuhan investasi.

Masih dalam data perusahaan terungkap kebutuhan investasi sejak 2015 mencapai Rp 334,7 triliun. Pinjaman hingga maret 2019 untuk biayai investasi tersebut mencapai Rp 160,7 triliun. tahun lalu saja PLN berhutang sebesar 70,3 triliun. Jumlah ini paling besar dibandingkan hutang pada tahun-tahun sebelumnya yang tidak lebih dari Rp 50 triliun.(RI)